Fokus perhatian Pansus adalah kembali kepada roh pembuatan peraturan daerah tersebut, seyogyanya mengatur PPNS di lingkungan Pemerintah Kota Bandung, dalam melakukan penindakan dan penyidikan.
Pertanyaannya kenapa itu menjadi penting, seru Ade, sebab nomenklatur yang disepakati bukan raperda perubahan sebagaimana disampaikan dalam Lembaran Kota Nomor 2 Tahun 2016, atau seperti diamanatkan rapat paripurna DPRD Kota Bandung 17 Februari lalu.
Dalam pembahasan kami, Pansus 3 memandang, bukan lagi sebatas revisi Perda Nomor 4 tahun 1986, melainkan raperda ini perubahan total. ’’Pansus 3 membahas pasal-pasal baru lebih dari 60 persen,’’ sebut Ade.
Kehadiran PPNS di SKPD, selama ini kinerjanya terkesan terbelenggu. Mereka lebih banyak bergelut dengan ewuh pakewuh daripada perlihatkan greget performance-nya sebagai penyidik.
Berkaca dari referensi tersebut, tutur Ade yang juga anggota komisi hukum DPRD Kota Bandung ini, adanya konsideran baru mendorong perlunya dimasukan klausul baru dalam Raperda PPNS tersebut. Diantaranya, penyesuaian syarat pengangkatan PPNS, sesuai ketentuan PP Nomor 58 Tahun 2010. Kewenangan PPNS melakukan pembebanan biaya paksa (di Pasal 4 ayat (1) poin i) penegakan hukum terhadap pelanggar sesuai dengan ketentuan dalam UU 23 tahun 2014.
Pembentukan sekretariat PPNS di Satuan Polisi Pamong Praja dalam mengakomodir PPNS di lingkungan Pemkot Bandung, sesuai ketentuan Surat Edaran Mendagri Nomor 182.1/857/SJ) dan penguatan kelembagaan dari sisi regulasi. Dan pemberian hak insentif bagi PPNS dalam menjalankan tugas.
Sehingga untuk penguatan klausul-klausul itu, Pansus sepakat memasukkan konsideran mengingat yakni : UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, Kepmendagri Nomor 6 tahun 2003 tentang pedoman pembinaan PPNS di lingkungan Pemerintah Daerah dan Kemendagri Nomor 7 tahun 2003 tentang pedoman operasional PPNS dalam penegakan Perda. ’’Ketiga konsideran tersebut sangat relepan dengan substansi materi Perda,” tandas Ade.
Indikasi saling lempar tanggungjawab oleh PPNS yang selama ini terlihat biasa. Itu merupakan kelemahan yang sedang dikaji. Sehingga, diperlukan wadah kesekretariatan guna mengkoordinasi kerja agar lebih optimal.
Di dalam Pasal 6 poin d, kata Ade, kewajiban PPNS membuat laporan pelaksanaan tugas kepada wali kota melalui SKPD diganti menjadi melalui sekretariat PPNS di Satpol PP. ’’Karena dalam menjalankan tugas, PPNS langsung beririsan dengan PNS maupun masyarakat. Maka, tidak diperlukan lagi badan pengawas dalam menghindari kompromi atau dimanfaatkan oknum PPNS. Koordinator PPNS langsung dijabat Dansatpol PP dan melalui kode etik periodesasinya terukur dan melekat selama jadi PNS,’’ pungkas Ade. (edy/adv)