bandungekspres.co.id, BANDUNG – Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung menggelar Focus Group Discussion (FGD) Proyek kereta cepat (high speed train/HST) Jakarta-Bandung, kemarin (21/4). Kajian tersebut dilakukan untuk mengantisipasi dampak sosial yang muncul dari pembangunan proyek tersebut.
Untuk diketahui, HST merupakan salah satu proyek infrastruktur strategis nasional. Proyek itu, menghubungkan Jakarta-Bandung melalui pembangunan 142 kilometer jalur kereta yang melintasi 4 stasiun yaitu Stasiun Halim-Stasiun Karawang-Stasiun Walini-Stasiun Tegalluar (Bojongsoang, Kabupaten Bandung), menembus 9 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Dampak Besar Kereta Cepat
Dana Pembangan Kereta Cepat Rp 77 triliun
Diprediksi menyerap 39.000 pekerja konstruksi
Menyerap 20.000 tenaga kerja saat dibangun kota baru di area stasiun dengan transit oriented development (TOD)
Menyerap 28.000 tenaga kerja saat operasional TOD
Kepala Bappeda Kota Bandung Kamalia Purbani menyatakan, diperlukan analisis pengendalian dan pencegahan dampak sosial, ”Kita memerlukan rekomendasi strategis Wali Kota Bandung. Ini untuk mengantisipasi dampak sosial negatif terhadap warga Kota Bandung,” tukas Kamalia, kemarin.
Dalam kajian Studi Antisipasi Pembangunan Kereta Cepat Terhadap Masyarakat Kota Bandung tersebut, diketahui proyek yang diperkirakan menelan biaya Rp 77 triliun tersebut mampu menyerap 39.000 tenaga kerja saat pembangunan konstruksi. Angka tersebut belum termasuk sebanyak 20.000 tenaga kerja saat dibangun kota baru di area stasiun dengan transit oriented development (TOD). ”Termasuk, 28.000 tenaga kerja pada saat operasional TOD sebagai pendorong lahirnya sentra ekonomi dan pusat bisnis baru,” kata dia.
Bappeda Kota Bandung, sambung Kamalia, melakukan kajian secara khusus guna memetakan risiko-risiko yang akan terjadi. Meski, kelak keberadaannya akan meningkatkan nilai positif.
”Keberadaan kereta api cepat Jakarta-Bandung diharapkan menumbuhkan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan daya saing Kota Bandung,” ujar Kamalia.
Dia mengatakan, dokumen FGD, diharapkan menjadi pedoman pemetaan dampak sosial. Jika dampak sosialnya positif, kata dia, pemerintah akan lebih mengoptimalkan. ”Sebaliknya, jika berdampak negatif akan lebih mudah mengantisipasi beragam kemungkinan buruk khususnya bagi masyarakat Kota Bandung,” tuturnya.
Kamalia memerinci, diskusi FGD tersebut dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok membahas ketenagakerjaan dan peluang usaha. Kelompok lain, membahas utilitas (infrastruktur pendukung), dan terkait keamanan, sikap dan persepsi masyarakat.