Profesi Penyembuh Itu buat Nolong Orang, Bukan Jual Obat

 

”Para dokter ahli sudah mengatakan harapan hidup tipis, 10–20 persen,” jelasnya.

Tapi, keajaiban itu datang beberapa hari setelah vonis tersebut. Lo yang sudah sebulan penuh opname di rumah sakit sembuh. ”Saya merasa nyawa saya telah disambungkan lagi oleh Tuhan. Jadi, saya harus menyerahkan sisa kehidupan untuk mengabdi kepada hamba-Nya,” jelasnya.

Kesempatan bertugas di berbagai daerah itu pula yang membuat relasinya luas. Jaringan pertemanan itulah yang akhirnya turut membantunya bisa mempertahankan praktik tanpa memasang tarif.

Tiap bulan Lo memang harus menanggung tagihan dari apotek. Jumlahnya bisa mencapai belasan juta rupiah. Tapi, dia merasa tak pernah kekurangan. Selalu ada saja tangan yang terulur siap membantu. ”Nggak tahu, pokoknya tiap bulan ada saja yang mengirim uang. Ada yang anonim, ada pula yang saya kenal,” katanya.

Para donatur itu adalah kawan, kenalan, atau bekas pasien yang kini sangat berkecukupan secara ekonomi. Donasi dari mereka itulah yang lantas dimanfaatkan Lo untuk menyubsidi pasien-pasiennya.

Bagi Lo, menjaga kesinambungan subsidi untuk para pasien tak mampu tersebut sangat krusial. Sebab, dia sadar, biaya kesehatan di Indonesia sangat mahal. Karena itu pula, sebisanya dia tidak pernah absen praktik.

Bahkan, dalam kondisi genting sekalipun. Saat Solo dilanda kerusuhan rasial pada Mei 1998, misalnya, Lo tetap berpraktik. ”Kasihan (para pasien), lha wis adoh-adoh teko,” katanya.

Masyarakat setempat pun menawarkan menjaga ketat rumah sekaligus tempat praktiknya. Tapi, dia menolak. Juga, tawaran dari aparat keamanan untuk mengevakuasinya.

Lo menolak membandingkan apa yang dirinya lakukan dengan apa yang lazim ditemui dalam praktik dokter dewasa ini. Sebab, dulu dia bersekolah dokter secara gratis. Sedangkan kini biaya pendidikan di fakultas kedokteran sangat mahal.

”Mungkin para dokter sekarang mau balik modal terlebih dahulu. Apalagi kalau harus spesialis,” jelas mantan direktur di RS Kasih Ibu itu.

Kini, setelah lebih dari lima dekade memilih jalan ”tak lazim” dalam berpraktik, dokter Lo mengaku tak tahu adakah juniornya yang akan mengikuti jejaknya. Menjadi sahabat kaum papa.

Tinggalkan Balasan