Biasanya, bahan makanan yang mudah busuk didahulukan sebagai menu makanan. Untuk sayur, bahan jenis sayur-sayuran hijau seperti kangkung dan bayam menjadi menu di awal-awal perjalanan. Meski tersedia fresh room di kapal, sayur hijau hanya bertahan maksimal seminggu.
Sementara itu, sayuran nonhijau seperti wortel, kubis, atau kentang biasanya baru dimasak di akhir perjalanan. Sebab, bahan tersebut mampu bertahan sebulan.
Sampai dengan kapal tiba di Dili, Timor Leste, Sabtu lalu (29/1), hasil kerja tim dapur dipuji para penumpang kapal yang membawa 45 dokter -22 di antaranya spesialis- dari tiga matra TNI itu.
”Saya suka makanannya. Meski di kapal, tapi masih tetap fresh,” kata Muchlis, salah seorang penumpang yang bertugas di bagian humas.
Pengaturan giliran makan juga berlangsung lancar. Waktu makan dirancang panjang, sekitar dua jam, bukan agar setelah makan, penumpang bisa bersantai dulu.
Tapi, karena jumlah penumpang melebihi kapasitas ruang makan. Jadi, harus bergantian. Jangan bayangkan seperti makan di warung: habis makan nongkrong sembari, mengutip istilah orang Jawa, ”menunggu perut melorot dulu”.
Layaknya kapal militer, peraturan yang dibuat juga mengadopsi aturan di barak-barak tentara. Selain makan harus cepat, setiap kepala haram mengambil lebih dari satu lauk. Kalau sampai ada yang nakal, dapat dipastikan, ada orang lain yang tidak mendapat jatah lauk.
Untung, meski tak semua penumpangnya tentara, tak ada yang nakal. Yang makan puas, yang masak juga. Tim logistik pun berharap perjalanan pulang mulai Selasa (2/2) bakal bisa sama lancarnya.
Jangan sampai di tengah jalan, misalnya, ada masalah dengan listrik. Kalau itu terjadi, otomatis mereka tak akan bisa melakukan apa-apa. Sebab, semua peralatan dapur menggunakan setrum. (*/c10/ttg/rie)