Sayang, papar Teddy, booming komoditas itu membuat Indonesia terlena. Kita tak kunjung memperbaiki struktur fundamental ekonomi. Minimnya infrastruktur serta rumitnya regulasi dan birokrasi membuat pelaku usaha harus menanggung ekonomi biaya tinggi. Akibatnya, produk Indonesia kurang memiliki daya saing saat produk asing menyerbu. Imbasnya, defisit neraca perdagangan kian menganga.
”Mestinya, penerimaan pajak dari booming komoditas ketika itu dipakai untuk membangun infrastruktur. Tapi sayangnya, uang ratusan triliun justru habis untuk subsidi BBM (bahan bakar minyak, Red) tiap tahun,” ujarnya.
Sikap terlena itu harus dibayar mahal ketika pada 2013 pemerintah Tiongkok mengerem laju pertumbuhan ekonomi karena merasa ekonominya sudah overheat alias terlalu panas. Strategi pertumbuhan berbasis infrastruktur dan industri diubah menjadi berbasis konsumsi serta jasa. Dengan demikian, permintaan komoditas dari Tiongkok merosot tajam. Buntutnya, harga komoditas seperti batu bara, tembaga, timah, CPO, karet, dan lainnya anjlok. ”Akibatnya, ekonomi Indonesia terus melemah,” kata pengusaha yang bersama saudara sepupunya, Edwin Soeryadjaya, membesarkan raksasa batu bara Adaro Energy itu.
Lantas, apa yang masih membuat optimistis? Teddy menyebutkan, salah satu yang utama adalah reformasi struktural yang dijalankan pemerintahan Jokowi-JK. Pertama, kebijakan memangkas subsidi BBM untuk dialihkan ke sektor infrastruktur. Kedua, perbaikan iklim investasi melalui berbagai paket kebijakan ekonomi, terutama deregulasi berbagai aturan yang tak ramah kepada dunia usaha. Ketiga, penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan yang memberikan kepastian bagi pelaku usaha. ”Keberanian politik Jokowi-JK untuk mengambil kebijakan yang tidak populer, seperti menaikkan harga BBM, layak diapresiasi.”
Keberanian politik seperti itu, menurut Teddy, sangat dibutuhkan. Dia mengibaratkan, struktur ekonomi Indonesia yang tengah sakit butuh obat yang harus ditelan meski pahit agar ke depan lebih sehat. Seperti pepatah berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang kemudian. ”Good times creates bad policy. Bad times creates good policy (Kondisi baik biasanya menciptakan kebijakan buruk. Kondisi buruk biasanya menciptakan kebijakan baik, Red),” ucap dia soal kebijakan subsidi BBM kala booming komoditas dan perlambatan ekonomi saat ini. (owi/c11/sof/roe)