Menurut pria yang memperistri Liliana Tanaja itu, pasar bebas selama ini menguntungkan bagi negara yang jurang pemisahnya tidak terbuka lebar. Sebaliknya, negara yang jurang pemisah masyarakatnya lebar akan sulit berkembang.
Karena itu, Hary berharap pemerintah benar-benar memikirkan kebijakan yang menggerakkan perekonomian masyarakat menengah ke bawah. ”Sebab, jumlah mereka saat ini masih dominan,” sebut dia.
Yang selama ini terjadi, dalam pandangan Hary, justru kebijakan yang kurang memberikan proteksi terhadap kegiatan usaha masyarakat menengah ke bawah. Dia mencontohkan kebijakan di bidang pertanian dan perkebunan.
Selama ini, keran impor bidang tersebut dibuka ketika petani tengah panen. ”Akhirnya, harga hasil panen pun anjlok. Padahal, permodalan petani itu dari uang tengkulak,” jelas pria 50 tahun tersebut.
Hary juga berharap kebijakan yang dibuat pemerintah bisa memaksa investor agar membuka lapangan pekerjaan baru di Indonesia. Contohnya kegiatan bisnis perikanan yang processing-nya kebanyakan tidak dilakukan di dalam negeri. Jika pengolahan dipaksakan untuk dilakukan di dalam negeri, dengan sendirinya ada penyerapan SDM dan upgrading skill masyarakat.
Pemilik nama lengkap Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo itu mengakui bahwa saat ini buruh memang menjadi persoalan besar di dalam negeri. Menurut dia, jalan keluar untuk menghadapi polemik upah buruh ialah meningkatkan produktivitas dan skill mereka. ”Makanya itu, persoalan pendidikan sejak dasar harus dibenahi,” paparnya.
Hary, yang berbisnis sejak 1989, melihat, dari segi peta ekonomi, Indonesia sudah tak lagi memiliki kekuatan yang bisa diandalkan. Menurut dia, pada dekade ’70–’80-an Indonesia masih memiliki kekuatan di bidang minyak. Setelah periode tersebut, peta ekonomi Indonesia bergeser ke industri manufaktur.
Sayang, kekuatan manufaktur itu kemudian tidak didukung ekosistem yang baik sehingga terus terjadi penurunan. Dampaknya, Indonesia mulai berubah dari bangsa yang produktif ke konsumtif.
”Sebenarnya kita masih punya kekuatan di bidang agraria. Tanah kita subur, tapi kebijakan yang selama ini keliru membuat kita tidak bisa swasembada,” kata peraih gelar master dari Ottawa University, Kanada, itu. Padahal, menurut dia, jika ingin menjadi sebuah negara yang kuat, pangannya juga harus kuat.