Belanja Ilmu Pengetahuan ke Tiongkok atau Eropa

Pada 2005 Timbul memperbaiki manajemen perusahaannya, termasuk sistem perpajakannya. Alhasil, pada 2007 penghargaan Upakarti dari presiden Indonesia diraih pria yang kini memiliki sekitar 70 karyawan itu.

Di tengah berbagai kesibukan tersebut, Timbul juga masih sempat melahirkan empat buku. Yaitu, Historitas Seni Gerabah Kasongan (2008), Globalisasi Seni Gerabah Kasongan (2009), Bisnis Seni Kerajinan (2010), serta Seni Kriya dan Kerajinan (2011).

Buku-buku itu ditulis bersamaan dengan peningkatan jenjang pendidikan yang dia jalani. Timbul mengaku selalu haus menimba ilmu. Dia menamatkan S-2 di bidang pengkajian seni kerajinan dan S-3 di bidang pengkajian seni keramik. Keduanya dijalani di Universitas Gadjah Mada (UGM).

”Saya punya dua otak yang kerja bersamaan. Sehari bisa mengatur 4–5 persoalan,” ungkap suami Ani Faiqoh tersebut.

Dalam rangka menambah khazanah ilmu pula, Timbul kerap melawat ke luar negeri. Dia menyebutnya ”belanja ilmu pengetahuan”. Tempat yang paling sering dia kunjungi adalah Guangzhou dan Shanghai di Tiongkok serta beberapa kota di Eropa.

Menurut dia, di tempat-tempat itulah sering ditampilkan desain-desain terbaru dunia. Tapi, jangan beranggapan Timbul ke sana untuk meniru desain yang sudah ada.

Dia ke sana justru untuk mengamati template desain yang ada, kemudian menciptakan desain yang berbeda. ”Uji produk dan uji market menentukan desain itu baik atau tidak,” katanya.

Selama ini Timbul membagi karyanya dalam dua jenis. Pertama, karya yang akan dijual. Misalnya, kebutuhan mebel interior atau applied art. Kedua, karya yang tidak dijual.

Karya kedua ditujukan untuk memenuhi kepuasan intelektual seninya. Kalaupun dijual, karya tersebut dilepas secara tersembunyi. Harganya bisa mencapai Rp 40 juta hingga Rp 100 juta.

Dengan ide-ide out of the box hasil kemauannya untuk selalu menambah ilmu itu, tak berlebihan jika Timbul disebut sebagai seniman pembaharu. Dan, tiap beberapa dekade, Kasongan memang selalu melahirkan pembaharu seperti ayahanda Magistyo Tahun Emas Raharjo, 20, dan Wangi Bunga Raharjo, 16, tersebut.

Pembaharu pertama adalah Ki Jembo yang datang ke Kasongan pada 1930. Berikutnya, pada 1974 giliran Sapto Hudoyo yang masuk ke desa tersebut dan mengajarkan teknik tempel.

Tinggalkan Balasan