SAYA lagi mampir Paris dua hari. Dalam perjalanan pulang dari Kolombia dan Meksiko. Tidak ada tujuan apa-apa. Tumben.
Dulu, ketika masih sering ke Prancis, saya selalu hanya menjadikan Paris tempat lewat. Begitu mendarat di Paris, saya langsung menuju lokasi-lokasi pabrik kertas. Atau lokasi pabrik yang membuat pabrik kertas. Yang biasanya berlokasi di pelosok-pelosok desa: Lille, Normandi, Grenoble, dan seterusnya. Tiba kembali di Paris tengah malam. Tidur. Pukul 5 pagi ke pelosok lagi. Waktu itu saya memang lagi mau membangun pabrik kertas koran.
Beberapa tahun kemudian, saya sering ke Prancis lagi. Tapi juga ke pelosok-pelosok. Ke pembangkit-pembangkit listrik. Yakni, untuk persiapan membangun pembangkit listrik di sebelah pabrik kertas di Gresik.
Baru kali ini saya tahu bahwa Paris itu ternyata seperti dibilang banyak orang: cantik. Pakai ”sekali”.
Mendengar saya lagi di Paris, anak wedok saya bermanja: minta dibelikan tas Chanel. Saya pernah mendengar merek tas mahal Chanel, tapi terus terang saya tidak tahu seluk-beluknya. Istri saya tidak pernah bermanja seperti itu.
Karena itu, agar tidak salah, saya minta diberi petunjuk yang terperinci. Putri saya pun mengirimkan foto-fotonya: muka, belakang, atas, bawah, jarak jauh, dan jarak dekat. Mungkin diambil dari internet. Dia pun menyebut jenisnya: Chanel Boy 25. Seumur-umur baru sekali ini saya mendengar tas dengan nama seperti judul film itu.
Waktu saya berjalan di sepanjang Champ Elysees (baca: song elize) yang terkenal itu, anehnya, tidak ada satu pun toko Chanel di situ. Yang ada Louis Vuitton. Dan sebangsanya.
Berita duka itu saya kabarkan ke Surabaya. Dasar anak sekarang, saya pun dikirimi alamat beserta petanya. Rupanya didapat dari Google Map.
Oh, kalau itu sih di dekat hotel saya. Di mal bawah tanah Museum Louvre. Kebetulan, sejak membaca novel DaVinci Code, saya memang bermimpi ke museum itu. Untuk melihat piramida kaca dan lukisan Monalisa. Dua benda yang dimisteriuskan secara memikat di novel karangan Dan Brown tersebut.