Kehidupan Warga Miskin di Binuang, Kota Padang

Fatma Yoni ditemui sedang memasak sambal menggunakan kayu bakar. Terlihat di bawah rumah panggung tersebut berjejer kayu bakar yang digunakan untuk memasak.

Sembari memasak sambal jengkol dengan baun yang khas dan membuka selera itu, Fatma Yoni memanggil adiknya paling bungsu untuk bercerita. Dia bersama orangtuanya Asril dan ibunya Alizar tinggal di Jalan Pulau RT 09 RW 3 Kelurahan Binuang Kampung Dalam, Kecamatan Pauh. “Biasaya ibu pulang dari sawah orang pukul 17.00, terkadang sampai Maghrib tiba di rumah,” ujar adik Fatma Yoni, Juni Diyanti, 18, anak bungsu dari 5 bersaudara.

Dia mengatakan, ibunya mendapatkan upah Rp 75 ribu dari bertanam di sawah orang. ”Itu pun jika musim bertanam padi di sawah. Jika tidak sedang musim, ibu tidak bekerja. Makanya, pendapatan tidak menentu, sehingga saya tidak bisa melanjutkan kuliah. Saya bercita-cita ingin kuliah di Pertanian Unand. Biar bisa bantu orangtua,” katanya.

Dia menjelaskan, untuk kebutuhan harian lainnya, mandi, cuki dan kakus (MCK) masih menumpang. ”Untuk mandi masih menumpang ke Mushala Istighfar. Kemudian untuk menyuci pakaian memanfaatkan sumur di sebelah rumah. Meski airnya menguning dan tidak bagus karena di sekeliling adalah sawah,” ucapnya.

Untuk buang air besar terkadang di sungai belakang mushala. Jarak dari rumah sekitar 50 meter untuk sampai ke sungai. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan air minum, keluarganya masih menumpang ke sumur tetangga. ”Untuk mendapatkan air bersih tersebut harus menempuh jarah 50 meter. Air diambil setelah shalat Subuh dan orang-orang belum ramai. Air diambil pakai ember dan jeriken. Ember dijunjung dan juga ditenteng sampai lima ember dalam sehari,” katanya sembari melihat-langit atas rumahnya yang telah menghitam karena asap dapur.

Dia melanjutkan, Idrus yang tamatan SMA merupakan saudara laki-lakinya yang saat ini juga masih menganggur. Idrus merupakan saudara di atas Juni. Kini pekerjaannya buruh serabutan membantu orangtua. ”Abang bekerja ke sawah orang mencangkul,” kata Juni Dianti dengan polosnya.

Sembari menganyunkan kakinya yang terjuntai di rumah panggung itu, dia Juni Dianti menyebutkan, bantuan dari pemerintah dan kelurahan seperti beras miskin terkadang diperoleh ayahnya, kadang tidak. ’’Ayah sering tidak mendapatkan bantuan pemerintah. Kartu Indonesia Sehat juga tidak dapat. Tapi untuk bantuan gas 3 kilo kami dapat, namun tidak dipakai karena takut meledak. Apalagi tidak ada pelajaran menggunakannya. Kalau meledak, rumah ini kayu dan akan mudah di lalap api. Dimana kami akan tinggal,” sebutnya sembari meletakkan dua gelas air putih dengan ukuran gelas berbeda. (***)

Tinggalkan Balasan