Permukiman yang dihuni ratusan ribu orang tersebut rata dengan tanah karena gempa dan disapu tsunami. Berdiri di salah satu ruas jalan terasa seolah sedang berada di tengah hutan gundul nan gersang.
Saat sekolah menjadi tempat penampungan, kegiatan belajar-mengajar otomatis dihentikan. Meski begitu, siswa tidak berhenti beraktivitas. Sekolah menggerakkan mereka untuk membantu para pengungsi yang tidak lain adalah orang tua dan saudara mereka sendiri.
Berbekal pengalaman tersebut, kepala sekolah dan para guru memiliki ide untuk memberikan pelatihan secara rutin kepada seluruh siswa agar mampu menyelamatkan diri dan orang lain jika terjadi bencana. Apalagi Jepang berada di kawasan rawan bencana yang berpotensi mengalaminya lagi di kemudian hari.
Ide tersebut kemudian ditelurkan dalam bentuk penyusunan kurikulum bencana. Kurikulum itu disusun para guru di sekolah yang berlokasi di Jalan Horizoe-53-2 Arai, Wakabayashi, Kota Sendai, Prefektur Miyagi, tersebut. Mereka berjibaku menyusun kerangka umum pembelajaran berdasar pengalaman.
Hanya dalam hitungan bulan, kurikulum itu selesai disusun dan langsung diterapkan ketika belum semua pengungsi meninggalkan sekolah. Sekolah itu pun menjadi pionir penyusunan dan pelaksanaan kurikulum bencana di Negeri Matahari Terbit tersebut.
Kurikulum itu berlaku untuk semua tingkat, mulai kelas satu sampai enam. Materinya disesuaikan dengan usia siswa. Karena itulah, pelajaran di tingkat berikutnya adalah melanjutkan pelajaran di kelas sebelumnya.
Seluruh siswa wajib mengikutinya tanpa terkecuali. Dalam seminggu, setiap kelas diberi materi bencana satu jam pelajaran yang berdurasi 45 menit. ’’Materi ini sangat penting untuk bekal jika sewaktu-waktu ada bencana datang,’’ katanya.
Agar mudah diterima para siswa, pelajaran bencana itu tidak hanya berbentuk materi. Pelatihan juga disertai praktik. Misalnya, materi untuk kelas 1. Materi yang diberikan terkait dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, memilih jalan yang paling aman ketika berangkat dan pulang sekolah.
Dalam mengajarkan materi tersebut, guru menunjukkan beberapa gambar jalan raya. Siswa lantas diminta menunjukkan jalan mana yang paling aman untuk dilewati beserta alasannya. Bukan itu saja, siswa juga diberi contoh yang terkait dengan bahaya yang paling ringan.