Berdasarkan target yang ditetapkan Badan Pusat Statistik, kata Diden, tahun ini Jawa Barat dapat memproduksi padi sebanyak 12,1 juta ton. Pada musim panen pertama yakni Januari-April, 4,8 juta ton hasil panen sudah dikantongi. ”Pada panen pertama tidak ada masalah, hanya memang karena kekeringan, di Mei-Agustus ini terganggu,” kata dia.
Menurut Diden, sampai saat ini ada 67.000 hektar sawah yang terdampak kekeringan. Sebanyak 26.000 hektar rusak ringan, 20.000 hektar rusak sedang, 13.000 hektar rusak berat dan sebanyak 7.000 hektar mengalami puso. Dengan kondisi tersebut, lanjut dia, produksi padi pada panen kedua ini diprediksi berkurang sekitar 9%.
”Jadi dari 12,1 juta ton hanya 11,6 juta ton saja yang berhasil diproduksi. Namun dengan rencananya bantuan hujan buatan dari pusat, musim kemarau diperpendek jumlah produksi bisa bertambah. Karena padi yang rusak masih memiliki peluang baik lagi,” ujarnya.
Sementara itu, sejumlah petani mengeluhkan mesin pemotong padi yang diberikan Kementerian Pertanian. Mesin yang digunakan untuk memanen itu terbilang tidak efektif. Jumlah bulir padi yang terbuang lebih banyak ketimbang dipotong manual.
Muchtar (65), petani asal Kampung Sindangsari Desa Jati Kecamatan Bojong Picung mengaku para petani tidak menutup adanya teknologi pertanian yang masuk. Hanya saja harus memiliki dampak positif. ”Kalau gini kan bisa merugi, banyak padi yang terbuang,” kata dia.
Menanggapi hal tersebut, Diden mengaku keberadaan mesin pemotong itu tidak dibarengi dengan sosialisasi cara menggunakannya. Berdasarkan hasil uji pakai, sebenarnya alat tersebut bisa memangkas jumlah padi yang terbuang melalui mekanisme manual.
”Berdasarkan data BPS, 10,9% hasil padi terbuang karena sistem manual istilahnya ngarambet pakai arit. Sedangkan dengan alat ini padi yang terbuang hanya 1,1%. Artinya bisa menyusut jauh. Cuma memang belum disosialisasikan caranya,” kata dia. Menurut Diden, tahun ini, Jawa Barat mendapatkan 9 unit alat pemotong padi dari Kementerian Pertanian. (pro/mio)