[tie_list type=”minus”]Sepp Blatter Kembali Memimpin untuk ke-5 [/tie_list]
AMSTERDAM – Joseph ’’Sepp’’ Blatter kembali menduduki tahta di Fédération Internationale de Football Association (FIFA) untuk periode 2015-2019. Ini menjadi yang kelima kalinya bagi Blatter menjadi orang nomor satu di induk organisasi sepakbola dunia sejak 1998.
Pria berusia 79 tahun itu mengumpulkan 133 suara pada pemilihan pertama. Namun, pada putaran kedua, Pangeran Ali bin al Hussein yang sebelumnya meraih 73 suara itu memilih mengundurkan diri.
Jelas, naiknya Blatter ke tampuk Presiden FIFA menuai berbagai respons negatif, khususnya dari negara-negara dan masyarakat Eropa. Banyak dari mereka yang berharap Blatter turun dari jabatannya.
Terlebih lagi, sejumlah pejabat FIFA terlibat skandal korupsi, pemerasan, dan pencucian uang. Kepolisian Swiss dan kepolisian Federal Amerika Serikat (FBI) juga telah menangkap 14 orang di salah satu hotel berbintang di Zurich 27 Mei lalu.
Legenda Portugal Luis Figo mengatakan, sepakbola saat ini berada di masa kegelapan. Figo sendiri sebelumnya sempat maju dalam bursa pencalonan Presiden FIFA periode 2015–2019. Namun di tengah jalan, mantan bintang Barcelona dan Real Madrid itu mengundurkan diri dan mempersoalkan prosedur pemilihan, karena Blatter hingga saat ini tidak memiliki manifesto yang membuat pemilih mengetahui programnya.
”Hari ini (waktu setempat) adalah hari yang kelam di Zurich. FIFA telah hilang. Tapi di atas segalanya, sepakbola telah kehilangan identitasnya dan semua orang yang benar-benar peduli akan hal itu juga sudah kalah,” kata Figo seperti dilansir Goal kemarin (30/5).
Figo juga tanpa segan meminta Blatter turun dari kursi kekuasaannya. Pria berusia 42 tahun itu menilai, dengan naiknya Blatter sebagai pimpinan FIFA untuk yang kelima kalinya, bukan tak mungkin hal-hal negatif dalam dunia sepakbola akan kembali terjadi.
Sementara itu, CEO KNVB (Koninklijke Nederlandse Voetbalbond) Bert van Oostveen, pun angkat suara. Dia menilai kesuksesan Blatter menjabat Presiden FIFA periode 2015-2019 lantaran sukses merangkul negara-negara kecil, khususnya dari benua Afrika dan Asia. Selain itu, Van Oostveen juga menyesali dengan sistem voting dalam pemilu Presiden FIFA yang dinilainya tak adil.