Bakal Laporkan Kota Baru

Demikian halnya ke Pengadilan Negeri Bandung. Hal itu pernah dilakukan PT IP untuk memperkarakan Belaputra Intiland dalam hal penyerobotan tanah sebesar lima hektare, yang kini terus berkembang hingga lebih dari delapan hektar di empat titik dari total 22 titik.

Di balik hal itu, Wayen mengungkapkan, tetap berusaha untuk mencari upaya bersama untuk mencari win-win solution. ”Kami tetap berusaha berbaik sangka. Bahkan, draf untuk menekan kesepatakan bersama pun sebenarnya sudah ada. Namun, dari pihak Belaputera hingga saat ini tidak mau,” tuturnya.

Dia menerangkan, ada sejumlah opsi dalam draf kesepatakan tersebut. Salah satunya, Belaputera mundur dari kawasan sengketa. Begitu pun dengan IP, mundur jika ternyata ada overlap. Nah harapannya, ada kawasan green belt (bebas pembangunan) dari kedua belah pihak.

”Kami tidak mengharapkan apapun, selain menjaga kawasan sempadan dari aktivitas pembangunan. Tujuan kami hanya menjaga kawasan green belt tersebut supaya bisa memperpanjang umur waduk Saguling,” paparnya sambil menambahkan, sedimentasi per tahun waduk Saguling mencapai 4,3 juta meter kubik.

”Dengan sedimentasi saja sudah pasti umur waduk berkurang dengan pasti. Kalau ditambah dengan pembangunan masif di kawasan waduk, otomatis umur waduk lebih cepat mati,” tambahnya.

Namun, beberapa kali disomasi dan dilaporkan pun, pengembang Kota Baru Parahyangan pun terkesan bebal dan kebal hukum. Pada 2 September 2013,       Belaputera Intiland tercatat mendatangai kantor PT. IP UP Saguling. Intinya, kata dia, meminta izin melaksanakan jembatan Cireundeu.

”Jawaban dari UBP Saguling tetap sama yaitu, PT. IP sangat keberatan dan tidak memberikan izin kepada Kota Baru Parahyangan untuk melaksanakan pembangunan jembatan Cireundeu, sampai adanya penyelesaian permasalahan overlapping (tumpang tindih tanah) milik IP dan Kota Baru Parahyangan,” papar Wayen.

”Terakhir, mereka malah mau meletakan batu pertama untuk pembangunan jembatan Cireundeu. Berarti kami tidak dipandang,” tambahnya.

Disinggung mengenai awal persoalan overlapping tersebut, Wayen mengatakan, kedua belah pihak merasa diri memiliki hak yang sama untuk menggunakan lahan. Pihak PT Indonesia Power memiliki sertifikat Hak Penggunan Lahan (HPL), sementara di beberapa lokasi, termasuk di kawasan sempadan, Kota Baru Parahyangan memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Lantas siapa lebih kuat?

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan