Yang lebih mengkhawatirkan, dengan tidak dilokalisir adalah kemungkinan adanya prostitusi anak menjadi sulit terdeteksi. Dia menjelaskan, dengan adanya lokalisir, maka polisi bisa fokus mengantisipasi adanya prostitusi anak di tempat tersebut.
’’Kalau sekarang, bagaimana mendeteksinya. Luas wilayah negeri ini menjadi kesulitan tersendiri. Orang-orangnya juga tidak terkontrol, berbeda bila dilokalisir,’’ papar mantan kepala bagian kerjasama pendidikan dan latihan Lemdikpol tersebut.
Sementara itu, dalam keterangan resminya, Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawangsa mengatakan tengah mempelajari sistem penanganan prostitusi negara-negara lain. Salah satu yang tengah disorotinya adalah aturan Swedia.
Menurut Khofifah, Swedia termasuk negara yang mampu menurunkan jumlah pengguna jasa prostitusi dengan signifikan. Hal itu dilakukan dengan cara memberlakukan hukuman berat bagi para pengguna jasa prostitusi tersebut. Hukuman tersebut pun kemudian menimbulkan efek jera hingga akhirnya, permintaan terhadap bisnis haram itu menurun drastis.
Dalam tiga tahun terakhir, lanjut dia, jumlah pengguna jasa prostitusi di di negara yang beribukota di Stockholm itu bisa ditekan hingga 75 persen. Sementara, kaum adam peminatnya turun hingga 80 persen. ’’Hingga akhirnya Swedia bisa menjadi contoh global untuk penanganan prostitusi ini,’’ ungkapnya.
Memang di Indonesia sendiri, para pengguna jasa prostitusi hanya masuk dalam tindak kejahatan ringan (tipiring). Dengan begitu, hukuman yang diterima pun masih tergolong ringan dan tidak ada penahanan.
Karenanya, Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu berharap Indonesia bisa segera mengevaluasi hal itu. Sehingga, angka prostitusi dapat ditekan. ’’Di Swedia saja bisa, masa di negara kita tidak bisa,’’ tuturnya.
Menurutnya, masalah prostitusi ini sudah sangat menghawatirkan. Sebab, banyak bukan lagi menyangkut kebutuhan hidup namun gaya hidup. Selain itu, prostitusi yang merupakan tindak kriminalpun telah dialihartikan menjadi dekriminalisasi. Para pelaku mengganggap peristiwa pidana itu menjadi perilaku biasa. ’’Padahal dalam prostitusi sudah jelas terdapat aksi perbudakan, kriminalisasi, eksploitasi dan perdagangan manusia,’’ tegasnya. (idr/mia/rie)