BANDUNG WETAN – Sidang dugaan korupsi PLTU Sumuradem yang melibatkan mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syaifuddin alias Yance terus bergulir. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, kemarin (6/4), jaksa penuntut umum menghadirkan saksi ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan RI Bambang Apriyanto.
Dalam kesaksiannya, Bambang menyatakan, pihaknya hanya bertugas menghitung, bukan menentukan siapa yang berhak menanggung akibat kerugian negara. Pasalnya, wewenang menentukan siapa yang bertanggungjawab adanya kerugian negara ada di tangan penyidik, dalam hal ini Kejaksaan Agung.
Dia menerangkan, kerugian negara dari kasus mark up harga tanah seluas 82 hektar itu sebesar Rp 4,1 miliar. Dalam kasus ini, tuturnya, ditemukan bahwa harga tanah yang seharusnya Rp 22.000/m2 menjadi Rp 42.000/m2. ’’Pengembalian kerugian negara tidak menghilangkan status tersangka. Karena Perpres (Peraturan Presiden) yang mengaturnya sudah tak berlaku,’’ jelas Bambang.
Yance didakwa korupsi karena telah menggunakan Keputusan Presiden (Keppres) No 5/1993 yang sudah tak berlaku. Seharusnya, kata Bambang, Keppres yang digunakan bernomor 30/2005 atau No 65/2006. Keppres itu dipakai Yance untuk membentuk Panitia Pengadaan Tanah (P2T) sesuai Surat Keputusan Bupati Indramayu No: 593.05/Kep-1051-Disnah/2004, pada 7 Juni 2004, yang jelas bertentangan dengan Keppres RI No 30/2005 atau No 65/2006.
Bambang tidak menepis, bila pihaknya terjun ke lapangan dan menghimpun dokumen administrasi dan keuangan. Dari data yang dihimpun, ditemukanlah kerugian negara yang sebelumnya Rp 5,6 miliar menjadi Rp 4,1 miliar. ’’Ada pengeluaran yang tidak seharusnya,’’ ungkapnya.
Usai persidangan, kuasa hukum Yance memastikan kehadiran Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai saksi a de charge atau meringankan pada sidang selanjutnya, Senin (13/4). ’’Sudah konfirmasi, 13 April akan hadir menjadi saksi meringankan bagi klien kami,’’ klaim kuasa hukum Yance, Ian Iskandar.
Ian menjelaskan, kehadiran JK untuk menjadi saksi fakta kliennya dalam pengadaan tanah. Dikarenakan, kasus terjadi saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan JK masih menjadi Wapres saat itu.