
Salah satu upaya dalam menangani polusi sampah dan emisi gas rumah kaca. LPTT mengembangkan teknologi biodigester di Pasar Indung Gedebage. Pembangunan dimulai awal Januari lalu. ’’Rencananya, pembangunan selesai pada bulan Maret,’’ ungkap Rohadji kepada Bandung Ekspres di rumahnya, Jalan Atlas kemarin (31/1).
Pengelolaan sampah terpadu tersebut, merupakan rekayasa teknologi yang dibuat pertama kali di Indonesia. Terutama, dalam skala pasar. Proyek ini dinamakan dengan Osata (Pengolah Sampah Organik Perkotaan).
Menurut pria yang sering disapa Adji ini, pembangunan biodigester diproyeksikan untuk memanfaatkan sampah yang tertumpuk. Selain itu, akan mengurangi ritase pengangkutan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Hasil pengolahan biodigester itu akan digunakan untuk warga pasar dan sekitarnya.
Karena, dari sampah yang diolah nantinya akan menghasilkan gas metan dan slurry (ampas biogas). Gas metan dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Yakni, digunakan untuk memasak dan menghidupkan genset.
Sementara, slurry dijadikan sebagai media tanaman hidroponik dan pupuk cair. Nantinya, akan dipasarkan kepada petani dan penjual tanaman hias. Yang bermuara pada pengelolaan ekonomi dari sampah.
Adji mengatakan, pembuatan biodigester yang sudah berjalan selama satu bulan ini dirancang secara terstruktur. Terutama dalam mempersiapkan warga pasar terlebih dahulu. Melalui pelatihan pengelolaan sampah dan budidaya lele.
Pelatihan pengelolaan sampah diproyeksikan, agar warga pasar dapat memilah terlebih dahulu sebelum membuang. Sedangkan, pelatihan budidaya lele dijadikan sebagai sarana memanfaatkan limbah sampah untuk pakan. ’’Semuanya diikuti untuk anggota Paguyuban Pedagang Pasar,’’ katanya.
Lokasinya pun masih berada di sekitar Pasar Gedebage. Menggunakan kolam buatan dengan sistem terpal. ’’Agar langsung dapat dipraktikan,’’ ujar Adji.
Namun, perhitungan rekayasa pengelolaan sampah terpadu ini belum dapat digunakan dalam skala besar. Karena, kapasitas tabungnya hanya bisa menampung dua ton sampah per hari. Sehingga, persebaran gas hanya dapat digunakan untuk warga pasar.
Dari dua ton sampah itu, terkonversi untuk bahan bakar genset sebanyak 10 ribu Watt. Sehingga, hanya dapat memenuhi konsumsi listrik warga pasar saja. Selain, menghasilkan satu kibik slurry per hari.
Disinggung tentang biaya pembangunan, Adji menyebutkan, besaran dana yang dikeluarkan mencapai Rp 1,6 miliar. Digesternya sendiri memakan biaya sekitar Rp 1,4 milir. ’’Sisanya, untuk pajak dan sewa tempat juga,’’ ungkapnnya.
Menurut Adji, pembangunan biodigester terbesar pertama ini, merupakan projek hibah dari Asian Development Bank (ADB) dan Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KemenhutLH). Sebagi salah satu upaya mengurangi pencemaran sungai Citarum. ’’Karena, salah satu polusinya adalah limbah sampah,’’ tuturnya.
Pembangunan biodigester itu tidak sekedar program pembuatan saja. Tetapi juga, program yang berkelanjutan. Atas kerjasama LPTT dengan Perusahaan Daerah (PD) Pasar. (mg2/far)