Penolak BIJB Masih Diperiksa, Umumnya Bukan Pemilik Lahan

bandungekspres.co.id, BANDUNG – Enam warga diamankan di Polda Jabar setelah terlibat bentrok dengan aparat gabungan pasca pengamanan pengukuran lahan pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Kamis lalu (17/11). Keenam orang tersebut merupakan warga penolak pengukuran.

Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan, atas aksi pelemparan oleh warga, tiga orang personel mengalami luka-luka, di bagian kepala dan dada, karena lemparan dengan menggunakan katepel. Tak butuh waktu lama, kata dia, enam orang warga diamankan di Mapolda Jabar untuk dilakukan pemeriksaan.

”Pengamanan pengukuran bandara sesuai permintaan dari Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, tapi mereka malah membawa senjata tajam, jadi kita amankan mereka,” Yusri kemarin (18/11).

”Karena senjata tajam, mereka melanggar Undang-Undang Darurat,” sambungnya.

Yusri menjelaskan, pengukuran lahan itu merupakan lahan yang sudah dibebaskan delapan tahun lalu oleh pemilik lahan. Namun, petugas malah dihadang oleh segelintir elemen masyarakat termasuk kepala desa setempat. Rupanya, lahan milik kepala desa dan tujuh orang tersebut belum ada kesepakatan.

”Sebetulnya 90 persen masyarakat lahannya sudah dibebaskan, hanya segelintir saja yang belum dibebaskan,” jelasnya.

Sementara itu, meski terdapat penolakan dari sejumlah warga yang enggan menjual tanahnya untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, proses pengukuran tanah tetap dilanjutkan.

Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar menyebut, penolakan tersebut bukanlah datang dari pemilik tanah, akan tetapi berasal dari oknum-oknum masyarakat yang memiliki kepentingan. ”Pemilik tanah tidak ada yang menolak, tapi diintimidasi oleh yang tidak memiliki tanah,” ucap Deddy kepada wartawan, kemarin (18/11).

Diua menduga, adanya intimidasi yang dilakukan oleh para oknum tersebut. Sehingga para pemilik tanah enggan menjual tanahnya dan memilih untuk tidak pulang ke rumahnya.

Deddy mengklaim, sebelum melakukan pengukuran, pihaknya sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Bahkan masyarakat yang memiliki tanah telah memberikan dokumen tanahnya. Sehingga, proses pengukuran dianggap wajar untuk dilakukan.

”Tidak ada yang paksa orang menjual tanahnya, mereka mau menjual tanahnya tapi dihalang-halangi. Pasti ada tokoh intelektualnya,” paparnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan