KPK dalam Bahaya

JAKARTA – Isi Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (R-KUHP) dipandang bisa mengancam pemberantasan korupsi. Posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun dalam bahaya.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Esther menuturkan, posisi KPK dalam keadaan bahaya itu terjadi karena DPR dan pemerintah akan segera mengesahkan R-KUHP pada 17 Agustus 2018 mendatang.

Letak bahayanya, menurut dia, pertama, jika R-KUHP disahkan maka KPK tidak lagi memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Kewenangan KPK tercantum dalam UU KPK yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor, dan bukan dalam KUHP.

”Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka hanya kejaksaan dan kepolisian yang dapat menangani kasus korupsi. Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi,” terangnya.

Aturan ini sekaligus menjadi kontra produktif dengan kinerja KPK yang telah teruji selama ini. Lalola memaparkan, sudah triliunan uang negara berhasil diselamatkan, puluhan koruptor telah dijaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT), seluruh terdakwa korupsi yang dijerat dan dibawa ke persidangan selalu dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim (100 percent conviction rate); pelaku korupsi yang ditangkap adalah koruptor kelas kakap mulai dari Ketua DPR, Ketua DPD, sampai Ketua Mahkamah Konstitusi.

“Tidak hanya KPK, akan tetapi Pengadilan Tipikor pun terancam keberadaannya,” imbuhnya.

Lalola menerangkan, selama ini Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili kejahatan yang diatur dalam UU Tipikor. Maka jika R-KUHP ini disahkan kejahatan korupsi akan kembali diperiksa dan diadili Pengadilan Negeri.

”Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada masa lalu Pengadilan Negeri kerap memberikan vonis ringan bahkan tidak jarang membebaskan pelaku korupsi,” katanya.

Kedua, sejumlah ketentuan delik korupsi dalam R-KUHP justru menguntungkan koruptor. Ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam R-KUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor.

Lebih ironis, kata dia, adalah koruptor yang diproses secara hukum dan dihukum bersalah tidak diwajibkan mengembalikan hasil korupsinya kepada negara karena R-KUHP tidak mengatur hal ini. ”Selain itu pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan negara agar tidak diproses oleh penegak hukum,” ujarnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan