Sanksi Money Politics Lebih Bertaring

jabarekspres.com, JAKARTA – Kerasnya aturan hukuman terhadap pelaku money politics dalam UU Pilkada tidak tecermin dalam pelaksanaan kontestasi Pilkada 2017 lalu. Itu tidak terlepas dari tumpulnya Peraturan Bawaslu Nomor 13 Tahun 2016 yang mengatur teknis penanganan administrasi politik uang.

Banyak pihak yang menilai, sanksi administrasi berupa pembatalan pasangan calon dalam Perbawaslu 13 terkesan main-main. Sebab, untuk bisa diganjar sanksi tersebut, laporan dugaan money politics harus diadukan 60 hari sebelum pemungutan suara dilakukan. Padahal, faktanya, banyak politik transaksional dilakukan menjelang hari H pemungutan suara.

Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan, perubahan draf Perbawaslu 13/2016 selesai dilakukan. Dalam draf yang baru, ketentuan laporan disampaikan 60 hari sebelum pemungutan suara diubah. ’’Batasan waktunya menjadi sampai hari H pemungutan suara,’’ ujarnya di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, kemarin.

Abhan menjelaskan, perubahan tersebut merupakan hasil evaluasi dari pelaksanaan pilkada sebelumnya. Ketentuan yang dahulu dinilai tidak efektif untuk menjerat pelaku politik uang. Sebab, aktivitas suap pemilu justru masif ketika menjelang hari pemungutan suara.

Saat ini draf sudah diajukan ke Komisi II DPR untuk dilakukan rapat konsultasi. Jika tidak ada aral melintang di parlemen, ketentuan tersebut berlaku pada Pilkada 2018. ’’Kalau disetujui, persoalan money politics bisa tereleminasi,’’ imbuhnya.

Mantan Komisioner Bawaslu Jawa Tengah itu menerangkan, jika seorang pasangan calon terbukti bersalah dan dijatuhi sanksi diskualifikasi, ada satu mekanisme banding yang tersedia. Yakni, mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA).

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyambut baik perubahan itu. Menurut dia, dengan perubahan tersebut, upaya untuk mencari keadilan dalam pemilu lebih bisa terpenuhi. Dia pun berharap, DPR bisa memberikan lampu hijau terhadap aturan tersebut.

’’Tidak ada alasal bagi DPR untuk menolak. Sebab, proses pilkada diuntungkan dengan proses yang lebih jujur dan adil. Aneh kalau nanti DPR menolak,’’ ujarnya.

Hanya, Titi mengingatkan bahwa progresivitas aturan harus diikuti dengan peningkatan profesionalisme dan integritas jajaran bawaslu di seluruh Indonesia. Jika tidak, itu bisa berakibat kepada kekeliruan hukuman yang menimbulkan konflik.

Selain itu, lanjut dia, Bawaslu perlu membuat roadmap terkait dengan batasan waktu penanganan perkara untuk tingkat banding di Mahkamah Agung. ’’Supaya ada kepastian hukum dan tidak berlarut-larut,’’ katanya. (far/c4/fat/rie)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan