Asep menegaskan bahwa MBG tidak semestinya menjadi kebijakan seragam tanpa mempertimbangkan kondisi sosial dan kebutuhan gizi di masing-masing daerah. Menurutnya, program tersebut lebih relevan diterapkan di wilayah yang masih menghadapi persoalan gizi serius.
“Kalau di kota seperti Bandung misalnya, kebanyakan anak sudah cukup gizi. Sementara di daerah 3T itu yang justru sangat membutuhkan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kecilnya anggaran per paket MBG yang hanya sekitar Rp10 ribu, sehingga rawan mengalami pemotongan di tingkat pelaksanaan dan berdampak pada kualitas makanan yang diterima siswa.
Baca Juga:Usai Menu MBG Jadi Sorotan, Dinkes Bogor Akhirnya Buka Suara!Kualitas MBG Jadi Sorotan, Dinkes Kabupaten Bogor Belum Beri Tanggapan
“Bisa jadi yang sampai ke siswa hanya Rp5 ribu sampai Rp7 ribu. Ini yang menyebabkan kualitas makanan menurun, bahkan sekarang banyak SPPG hanya menyajikan menu kering seperti snack, roti, dan buah sedikit,” ucapnya.
Dalam evaluasi, Asep menekankan pentingnya keterlibatan berbagai pihak, mulai dari ahli gizi, sekolah, guru, aparat kewilayahan, hingga pemerintah daerah. Ia juga mengingatkan agar evaluasi dilakukan secara objektif dan bebas dari tekanan politik.
“Jangan sampai hasil evaluasi itu hitam di atas putih karena ada tekanan dari pihak yang berkepentingan. Aspek kebutuhan yang harus dikedepankan, bukan aspek pencitraan,” tegasnya.
Ke depan, Asep menilai peran Badan Gizi Nasional (BGN) sebaiknya difokuskan pada fungsi monitoring, sementara pelaksanaan teknis diserahkan kepada pemerintah daerah melalui dinas terkait.
“Seperti Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, dan Dinas Kesehatan harus terlibat. Sehingga program ini tidak sekadar dilaksanakan, tapi benar-benar bertanggung jawab untuk kepentingan bersama,” pungkasnya. (wit)
