Pengamat Soal Fenomena Pedagang Cuanki Pusdai: Cermin Tata Kelola Ruang Publik Tidak Konsisten

Pengamat Soal Fenomena Pedagang Cuanki Pusdai: Cermin Tata Kelola Ruang Publik Tidak Konsisten
Ilustrasi: Pedagang menjual cuanki di sekitar trotoar kawasan Masjid Pusdai, Kota Bandung beberapa waktu lalu. Foto: Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres
0 Komentar

JABAR EKSPRES – Polemik terkait aktivitas pedagang Cuanki di kawasan Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Bandung mendapatkan perhatian serius dari kalangan pengamat kebijakan publik. Mereka menilai kejadian ini bukan sekadar persoalan pedagang kaki lima yang perlu ditertibkan, namun mencerminkan lemahnya tata kelola ruang publik dan pengawasan lintas sektor di Kota Bandung.

Pengamat kebijakan publik, Achmad Muhtar menilai bahwa masalah Cuanki Pusdai merupakan contoh klasik benturan antara ruang publik, aktivitas ekonomi informal, dan fungsi kawasan keagamaan. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh, bukan hanya penertiban sesaat.

“Ini bukan hanya soal pedagang yang berjualan terlalu dekat dengan area masjid. Ini soal tata kelola ruang publik yang tidak konsisten. Pusdai adalah kawasan strategis yang memiliki fungsi ibadah, pendidikan, dan wisata. Pengaturannya tidak boleh reaktif, tetapi harus berbasis perencanaan jangka panjang,” ujar Achmad.

Baca Juga:Kuliner Hits Cuanki Pusdai Masuk Skema Penertiban PKL di Tahun 2025Pro Kontra Magnet Kuliner Kota Bandung, Ini Kata Satpol PP Soal Cuanki Pusdai

Ia menyoroti pernyataan Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan yang harus turun tangan langsung untuk urusan teknis seperti penataan pedagang. Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya celah dalam koordinasi internal pemerintah.

“Ketika Wali Kota sampai harus mengingatkan ulang camat, lurah, dan Satpol PP, itu sinyal kuat bahwa ada masalah pada efektivitas komando dan pengawasan. Kebijakan di atas tidak akan berjalan kalau eksekusi di bawah tersendat,” katanya.

Ia menambahkan bahwa penegakan aturan tidak boleh hanya mengandalkan razia, tetapi harus diterjemahkan ke dalam sistem kerja yang jelas: siapa bertanggung jawab, bagaimana pemantauan dilakukan, dan bagaimana sanksi ditegakkan.

Sebagai solusi, Achmad menilai bahwa Pemkot Bandung perlu membuat zonasi kuliner resmi yang mengatur titik-titik mana saja yang diperbolehkan untuk aktivitas perdagangan. Ia menekankan bahwa zonasi tersebut harus disusun bersama pengelola Pusdai, pedagang, dan tokoh masyarakat agar tidak terjadi miskomunikasi.

“Contoh terbaik ada di daerah lain, di mana kawasan ibadah dan kuliner tetap hidup berdampingan karena zonasinya jelas, jam operasionalnya ditegakkan, dan pengelolaannya transparan. Bandung bisa melakukan itu. Cuanki Pusdai punya nilai ekonomi dan kultural, tapi tetap harus tunduk pada aturan ruang publik,” ucapnya.

0 Komentar