JABAR EKSPRES – Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai, kian tingginya angka pengguna kendaraan roda dua alias sepeda motor, menjadi bukti kegagalan sistem transportasi publik.
Pengamat Transportasi sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno mengatakan bahwa saat ini kita hidup di negeri dengan 120 juta sepeda motor, dan setiap tahun bertambah jutaan lagi.
“Di banyak kota, sepeda motor telah menjadi lambang efisiensi dan kebebasan mobilitas,” katanya kepada Jabar Ekspres, Rabu (26/11).
Baca Juga:Dahaga Transportasi Umum di Bandung, Harapan Warga pada Moda yang ManusiawiDukung Konektivitas Transportasi, 22 Angkot Soreang-Ciwidey Disiapkan Jadi Feeder BRT
Djoko mengakui, jika sepeda motor bisa menembus kemacetan, menjangkau gang sempit, dan dapat mengantarkan ke tujuan dari pintu ke pintu.
“Namun di balik kenyamanan itu, ada paradoks besar. Sepeda motor adalah moda antara, bukan tujuan akhir peradaban transportasi,” bebernya.
Djoko menerangkan, arah pembangunan transportasi berkelanjutan seharusnya mengalihkan mobilitas, dari kendaraan pribadi menuju angkutan umum massal.
“Negara-negara yang berhasil keluar dari kemacetan dan polusi selalu menempuh jalur serupa. Memperkuat sistem publik, bukan memperbanyak kendaraan pribadi,” terangnya.
Sayangnya, ujar Djoko, Indonesia justru bergerak ke arah sebaliknya. Motor yang semula solusi darurat kini menjadi ketergantungan massal.
“Kota-kota kita dipenuhi lautan kendaraan kecil yang cepat tapi tidak efisien. Ruang jalan berubah menjadi arena kompetisi, bukan produktivitas,” ujarnya.
Djoko memaparkan, melihat kondisi seperti ini, terdapat risiko yang terlupakan. Pasalnya, lebih dari 75 persen korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia merupakan pengendara motor.
Baca Juga:Mudah! Begini Cara Membuat Kartu Pekerja Jakarta untuk Naik Transportasi Umum GratisDibayangi Tantangan Finansial, Pemerhati Transportasi Nilai Whoosh Belum Kehilangan Harapan
Menurutnya, efisiensi yang kita puja sering kali dibayar dengan keselamatan. Secara fisik, sepeda motor tidak memiliki perlindungan struktural.
Secara sosial, pengemudi terutama mitra ojek daring, hidup di bawah tekanan algoritma dan insentif waktu yang menuntut kecepatan. Semakin cepat, semakin untung; tetapi semakin cepat pula risikonya.
“Setiap perjalanan singkat yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau angkutan umum kini digantikan oleh perjalanan bermesin,” papar Djoko.
“Akibatnya, emisi, kebisingan, dan kepadatan (volume kendaraan) meningkat di hampir setiap sudut kota,” pungkasnya. (Bas)
