Jutaan Rekening Judol Terbongkar, IAW: Bank Harus Ikut Diproses Hukum

BERIKAN KETERANGAN:
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus.(Dok:Jabar Ekspres)
0 Komentar

JABAR EKSPRES – Indonesian Audit Watch (IAW), mendesak aparat penegak hukum, terutama Polri, agar tidak berhenti pada penindakan pelaku dan operator judi online. Mereka menuntut agar bank dan lembaga keuangan non-bank yang memungkinkan pembukaan rekening untuk transaksi perjudian juga ikut diproses secara hukum.

Menurut catatan IAW, dalam satu dekade terakhir, telah terjadi penyalahgunaan jutaan rekening untuk aktivitas perjudian online. Bareskrim Polri sendiri berhasil membekukan dana senilai Rp194,7 miliar dari 865 rekening hanya dalam lima bulan pertama tahun 2025. Pada bulan Agustus, penyitaan kembali dilakukan terhadap 811 rekening dengan nilai mencapai Rp154,3 miliar.

Polisi daerah juga aktif mengungkap berbagai modus jual-beli rekening. Polres Metro Jakarta Barat, misalnya, berhasil membongkar sindikat dengan barang bukti berupa 713 kartu ATM dan 370 buku tabungan. Sedangkan Polresta Sidoarjo menemukan praktik jual beli data identitas yang dikirim ke luar negeri, yakni ke Kamboja dan Taiwan.

Baca Juga:Peringati Hari Kemerdekaan RI & Hari Nyamuk Sedunia, 20.000 Siswa SD Jadi “Pahlawan” Pencegah DBDSemangat Membangun Tanah Air Bersama LeichtMix

Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menilai, langkah-langkah tersebut masih jauh dari kata memadai. Jika dibandingkan dengan skala jutaan rekening aktif maupun dormant untuk judi online, penindakan yang telah dilakukan selama ini baru menyentuh sebagian kecil saja.

“Selama ini polisi fokus ke pemain, admin, atau pengepul rekening. Padahal, rekening tidak mungkin lahir tanpa pintu bank atau lembaga keuangan non-bank,” ujar Iskandar dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 29 Agustus 2025.

Iskandar menegaskan bahwa keberadaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) Nomor 8 Tahun 2010 seharusnya bisa menjadi landasan kuat untuk menindak pihak yang turut serta menyamarkan hasil kejahatan. Ia menilai bahwa pembiaran terhadap transaksi mencurigakan atau kelalaian dalam verifikasi dokumen oleh pihak bank harus dikategorikan sebagai bentuk kejahatan.

Lebih jauh, Iskandar menyebut bahwa Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 telah mewajibkan bank untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Pelanggaran terhadap prinsip tersebut, menurutnya, tidak bisa ditoleransi hanya dengan sanksi administratif, apalagi jika rekening terbukti dipakai untuk judi daring.

Aturan lain yang turut disorotnya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) APU-PPT Nomor 8 Tahun 2023, yang mewajibkan penerapan verifikasi biometrik, pelaporan transaksi mencurigakan, serta pemeriksaan menyeluruh terhadap nasabah berisiko tinggi. Ia menilai kegagalan bank dalam menjalankan kewajiban ini tidak bisa dianggap ringan.

0 Komentar