Pengamat Soroti Sikap Pemkot Bandung Soal Bendera One Piece: Perlu Pendekatan Edukatif, Bukan Represif

Pengamat Soroti Sikap Pemkot Bandung Soal Bendera One Piece: Perlu Pendekatan Edukatif, Bukan Represif
Warga berjalan di dekat bendera Jolly Rogger dari seri anime Jepang One Piece yang dijual di Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, Rabu (6/8). Foto: Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres
0 Komentar

JABAR EKSPRES – Tanggapan tegas Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung terkait fenomena pengibaran bendera bajak laut fiksi dari serial One Piece menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia menuai perhatian kalangan pengamat kebijakan publik.

Pengamat kebijakan publik Independen, Achmad Muhtar menilai bahwa respon tegas dari Pemkot Bandung memang bisa dipahami sebagai bentuk kepatuhan terhadap instruksi pusat. Namun, ia menekankan pentingnya pendekatan edukatif ketimbang semata-mata penindakan represif.

“Pemkot tentu punya kewajiban menjaga simbol negara seperti Bendera Merah Putih. Tapi konteks ini juga harus dilihat dari perspektif sosial budaya anak muda. Ada pesan simbolik yang ingin disampaikan, meski mungkin caranya kurang tepat,” ujar Achmad kepada Jabarekspres, Rabu (6/8).

Baca Juga:Dugaan Kekerasan di SMAT KN Bandung Jadi Sorotan, Disdik Jabar dan Inspektorat Perlu Lakukan Pemeriksaan Buat Relaksasi Pengunjung, Pelaku Usaha di Bogor Tetap Putar Musik Meski Ada Wacana Pembayaran Royalti 

Menurutnya, tren pengibaran bendera bajak laut One Piece tidak sepenuhnya bermuatan subversif atau anti-nasionalisme. Banyak di antara para penggemar justru melihat karakter dan simbol dalam anime sebagai representasi semangat keadilan, keberanian melawan penindasan, dan solidaritas nilai-nilai yang justru sejalan dengan semangat kemerdekaan.

“Yang perlu dilakukan pemerintah adalah memahami dahulu konteksnya, bukan langsung menganggap ini sebagai bentuk pembangkangan atau pelanggaran hukum. Pendekatan dialog dan edukasi lebih tepat untuk menjangkau kelompok-kelompok muda yang mengekspresikan diri melalui budaya populer,” jelasnya.

Meski begitu, Achmad juga mengingatkan bahwa simbol negara tidak boleh digantikan, terutama dalam momentum sakral seperti peringatan Hari Kemerdekaan. Namun penegakan aturan harus tetap proporsional dan tidak menimbulkan kesan otoriter.

“Pemerintah bisa membuat batasan yang jelas. Misalnya, boleh saja atribut budaya pop digunakan di ruang pribadi atau komunitas, selama tidak menggantikan posisi Bendera Merah Putih di ruang publik. Dengan begitu, ruang ekspresi tetap terbuka tanpa menabrak aturan negara,” tambahnya.

Ia juga menyarankan agar Pemkot Bandung menggandeng komunitas kreatif atau penggemar budaya Jepang dalam kegiatan perayaan kemerdekaan. Kolaborasi semacam ini, menurut Achmad, bisa menjadi jalan tengah antara menjaga nilai nasionalisme dan merangkul kreativitas anak muda.

“Daripada menyikapi dengan ancaman, kenapa tidak jadikan ini momentum untuk membangun komunikasi yang sehat? Justru bisa jadi ajang pemerintah hadir di tengah anak muda, bukan sekadar jadi penegak aturan,” tutupnya.

0 Komentar