BANDUNG – Pendidikan militer bagi siswa nakal yang digulirkan Gubenur Jabar Dedi Mulyadi (KDM) dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Menurut Wakil Ketua DPRD Jabar Ono Surono, pendidikan militer siswa ala KDM tersebut merupakan program Gubernur Jabar yang belum ditemukan regulasinya dalam konstruksi peraturan perundang-undangan di Indonesia.
“Konstruksi peraturan perundang-undangan tidak ada berbicara perserta didik yang berkebutuhan khusus masuk ke militer,” tegas Ono dalam diskusi Catatan Demokrasi TVONE, Selasa, 13 Mei 2025 malam.
Kata Ono, program KDM itu hanya berdasarkan Surat Edaran (SE) Gubernur Jabar yang memberikan pembinaan khusus bagi siswa nakal setelah mendapatkan persetujuan orang tua melalui pola kerja sama antara Pemprov Jabar, pemerintah kab/kota dengan jajaran TNI/Polri.
Baca Juga:Lapor ke Prabowo, Ojol Se-Jabar Tolak Rencana Merger Grab-Goto100 Hari Kerja Pemkab Bogor, Pupuk Organik Hayati Extragen Dongkrak Hasil Panen Raya Padi
Hal tersebut menurut Ono, siswa nakal tidak perlu dimasukkan ke barak militer. Menurut Ono, sudah ada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang bisa menjadi problem solving bagi pembinaan khusus siswa nakal.
“UU Sisdiknas sudah mengatur, ada namanya pendidikan khusus di mana pendidikan khusus itu bisa formal seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) yang memang menjadi kewajiban seorang gubernur,” sebutnya.
Sementara proram tersebut sudah dianggarkan sebesar Rp6 miliar yang belum diketahui sumbernya. Begitu pun kata Ono, program itu tidak masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jabar, yang merukan penjabaran visi dan misi Dedi Mulyadi.
“Belum ada kegiatan itu, dan ini kami belum membahas RPJMD yang merupakan penjabaran visi dan misi Gubernur KDM. Jadi, kami ini belum membahas secara detail program KDM yang sesuai peraturan perundang-undangan,” kata Ono.
Berdasarkan Pasal 25 UU Nomor 25 Tahun 2004 dan Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, semua program dan anggaran daerah harus selaras dengan RPJMD. Program yang dianggarkan di luar RPJMD tidak memiliki dasar hukum perencanaan, sehingga melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Anggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan anggaran, yang dapat diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jika terbukti, kepala daerah (gubernur) dapat dikenakan sanksi administrasi atau bahkan pidana korupsi jika ada indikasi kerugian negara.
