JABAR EKSPRES – Pernahkah Anda melihat kode “STBLD” di akta kelahiran keluaran lama dan bertanya-tanya apa sebenarnya artinya? Belakangan ini, kode tersebut kembali menjadi perbincangan panas di media sosial seperti Threads dan X. Banyak warganet yang penasaran, bahkan ada yang mengaitkan kode itu dengan diskriminasi sosial dan etnis yang diwariskan sejak zaman kolonial Belanda. Apakah benar demikian? Dan apakah kode STBLD masih berlaku sampai sekarang?
Kode STBLD merupakan singkatan dari Staatsblad, sebuah istilah dalam bahasa Belanda yang berarti lembaran negara. Pada masa kolonial Hindia Belanda, Staatsblad digunakan sebagai dokumen resmi yang memuat berbagai peraturan, termasuk dalam pencatatan sipil seperti akta kelahiran.
Pada akta kelahiran lama, kode STBLD diikuti oleh angka tertentu yang merujuk pada peraturan Staatsblad yang berlaku saat itu. Kode ini bukan sekadar angka biasa—ia mencerminkan sistem pengelompokan penduduk berdasarkan etnis, agama, hingga status sosial. Sistem ini merupakan salah satu bentuk hierarki sosial yang diterapkan oleh pemerintah kolonial.
Baca juga : Arti Warna Biru, Kuning, Merah, dan Abu-Abu di Info GTK
Berikut ini adalah beberapa contoh kode STBLD yang digunakan untuk mengkategorikan penduduk Hindia Belanda:
- STBLD 1849:25 (terakhir diubah dengan STBLD 1946:136)
Digunakan untuk golongan Eropa, yang memiliki status sosial tertinggi. Warga dalam kategori ini memiliki hak istimewa dalam pendidikan, pekerjaan, dan layanan hukum.
- STBLD 1917:129 (diubah dengan STBLD 1939:288 dan STBLD 1946:136)
Diterapkan untuk keturunan Tionghoa, Arab, dan India Timur. Mereka berada satu tingkat di bawah golongan Eropa.
- STBLD 1920:751 (diubah dengan STBLD 1927:564)
Berlaku untuk pribumi Muslim di wilayah Jawa dan Madura. Kelompok ini dianggap berada di posisi sosial terendah, dengan akses terbatas terhadap hak-hak dasar.
- STBLD 1933:74 (diubah dengan STBLD 1936:607 dan STBLD 1939:288)
Diperuntukkan bagi pribumi Kristen, seperti dari Minahasa dan Ambon, yang status sosialnya lebih tinggi dibandingkan pribumi Muslim, namun masih di bawah golongan Eropa dan Tionghoa.
Pengelompokan semacam ini menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial secara sistematis membagi masyarakat berdasarkan kasta sosial dan etnis, yang kemudian berdampak pada akses terhadap pendidikan, hukum, dan pekerjaan.