Pejabat dan Media Sosial-Antara Branding Diri, Etika, dan Kepatutan

Oleh: Iwan Gumilar

DI era digital, kehadiran media sosial (medsos) menjadi keniscayaan, tidak terkecuali bagi para pejabat publik. Media sosial memungkinkan komunikasi dua arah yang cepat, personal, dan luas jangkauannya. Namun, ketika pejabat menggunakan media sosial untuk branding diri, muncul pertanyaan penting: apakah hal itu etis, pantas, dan sesuai dengan aturan?

Dari sisi etika, pejabat publik sejatinya adalah pelayan masyarakat, bukan figur selebritas. Menggunakan media sosial untuk mempromosikan program kerja adalah hal wajar, bahkan positif bila dilakukan secara transparan dan informatif. Namun, jika medsos lebih banyak dipakai untuk memoles citra pribadi ketimbang menyampaikan informasi kebijakan atau kinerja institusi, maka di sinilah etika mulai dipertanyakan. Seorang pejabat seharusnya mengutamakan pelayanan, bukan popularitas.

Dari sisi kepatutan, masyarakat tentu berharap pejabat menampilkan sikap yang mencerminkan integritas, kerendahan hati, dan profesionalisme. Terlalu sering menonjolkan diri lewat konten yang berlebihan, bergaya hidup mewah, atau bahkan memanfaatkan jabatannya untuk menambah pengaruh di dunia maya, justru bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik. Apalagi jika dalam prosesnya menggunakan fasilitas negara, yang biayanya bersumber dari uang rakyat.

Dari sisi aturan, pemerintah melalui berbagai regulasi seperti UU ASN (Aparatur Sipil Negara) dan kode etik pejabat publik telah mengatur bagaimana seorang pejabat harus menjaga netralitas, tidak menyalahgunakan wewenang, serta menghindari konflik kepentingan. Selain itu, ada ketentuan dalam UU ITE dan peraturan tentang penggunaan medsos oleh aparatur pemerintah yang mengatur tentang etika berkomunikasi di ruang digital. Sayangnya, masih ada pejabat yang “lupa diri” dan menjadikan medsos sebagai panggung pribadi tanpa mempedulikan batasan-batasan tersebut.

Pada akhirnya, media sosial bisa menjadi alat komunikasi yang efektif jika digunakan dengan bijak dan proporsional oleh pejabat publik. Namun, ketika tujuan utamanya bergeser dari melayani publik menjadi sekadar personal branding, maka ini bukan hanya soal selera, tapi soal etika, kepatutan, dan ketaatan pada aturan negara. Pejabat publik harus ingat, kepercayaan masyarakat Bu tidak dibangun dari banyaknya “likes” atau “followers”, melainkan dari hasil kerja nyata dan integritas dalam bertugas. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan