“Seharusnya, jika ada unit pelayanan disabilitas, maka unit tersebut harus melibatkan anggota dari komunitas disabilitas itu sendiri. Kami tidak hanya ingin dilibatkan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan,” jelasnya.
Saat ini, menurut Aden, meskipun ada wacana mengenai inklusivitas dan hak-hak penyandang disabilitas, perubahan yang signifikan masih belum terlihat. Hal ini membuat penyandang disabilitas merasa terpinggirkan dan terlupakan dalam proses pembangunan negara.
Harapan besar penyandang disabilitas adalah agar pemimpin masa depan benar-benar memperhatikan dan melibatkan mereka dalam setiap aspek pembangunan, dengan komitmen untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif dan setara bagi semua warganya.
“Jika tidak ada perubahan nyata, maka cita-cita untuk mencapai Indonesia Emas 2045 akan semakin sulit tercapai. Sebaliknya, yang ada justru Indonesia Cemas, di mana banyak kelompok, termasuk disabilitas, masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam pembangunan nasional,” ungkap Aden.
Janji Kampanye, Antara Empati dan Pencitraan
Isu disabilitas menjadi salah satu sorotan dalam kampanye para kandidat gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat 2024. Beberapa pasangan calon menawarkan program-program yang dianggap ramah disabilitas.
Seperti halnya pasangan nomor urut 1, Aceng dan Gita menekankan pembangunan infrastruktur ramah disabilitas serta ruang kreatif. Sementara pasangan nomor urut 2, Jeje dan Ronal mengusulkan “Psikolog Mingguan” dan sekolah berbasis latihan kerja.
BACA JUGA:Sempat Dipandang Sebelah Mata, Hasil Survei LS Vinus Ternyata Akurat!
Lalu pasangan nomor urut 3, Syaikhu dan Ilham berkomitmen menciptakan lapangan kerja melalui program “Satu Desa Satu Industri”. Terakhir, pasangan nomor urut 4, Dedi dan Erwan mengusung pendidikan inklusif dengan pendekatan religius dan pembangunan sekolah yang ramah disabilitas.
Namun, menurut Arlan Sidha, Pengamat Politik Universitas Jenderal Ahmad Yani, janji-janji ini sering kali hanya menjadi komoditas politik. “Masyarakat melihat calon ini peduli, tetapi sering kali realisasinya nol. Isu ini harus menjadi prioritas, bukan sekadar alat pencitraan,” katanya.
“Pandangan masyarakat, bahwa (calon) tersebut ada aware dan peduli terhadap disabilitas. Biasanya itu menjadi strategi politik untuk kemudian mempertontonkan calon ini memiliki empati luar biasa,” ungkap Arlan.