INDONESIA memiliki payung hukum yang kuat untuk melindungi hak penyandang disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. UU ini menjamin hak-hak penyandang disabilitas dalam pendidikan, pekerjaan, aksesibilitas, hingga partisipasi politik.
Namun, menurut Dudi Nurdin, Aktivis Cahaya Inklusi Indonesia, implementasi UU ini di lapangan masih jauh dari harapan. “Kalau isu disabilitas diibaratkan sebuah rumah, ini posisinya di toilet. Sangat terabaikan,” ungkap Dudi kepada Jabar Ekspres, belum lama ini.
Dirinya menekankan pentingnya memahami isi UU 8/2016 untuk menciptakan kebijakan yang tepat. Akan tetapi, pada realitanya pemerintah masih kerap memandang isu disabilitas sebatas urusan Dinas Sosial, tanpa melibatkan lintas sektor yang relevan.
Kenyataan semakin pahit dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat yang mencatat lonjakan jumlah penyandang disabilitas dari 35.953 jiwa pada 2021 menjadi 72.565 jiwa pada 2022. Dengan tren ini, jumlahnya berpotensi meningkat tiga kali lipat pada 2024. Kondisi ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk tidak lagi menunda langkah konkret.
Dudi mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ketidakseriusan pemerintah dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. Dirinya menyoroti bahwa kondisi kelompok disabilitas sering kali tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat umum, bahkan oleh calon pemimpin negara.
“Isu disabilitas ini ibarat toilet di sebuah rumah. Kita tahu ada teras, ruang tamu, dan ruang tengah, tetapi toilet seringkali dilupakan,” ujar Dudi, yang juga menekankan pentingnya pemahaman yang lebih dalam tentang hak-hak penyandang disabilitas di kalangan para pembuat kebijakan.
Dudi pun menegaskan bahwa pemahaman terhadap disabilitas harus diawali dengan pengetahuan mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut adalah dasar hukum yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia, termasuk dalam bidang pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan aksesibilitas.
Meski undang-undang ini sudah ada, Dudi mencatat bahwa pelaksanaannya masih jauh dari harapan. “Pemerintah, daerah, dan masyarakat harus lebih serius dalam menciptakan lingkungan yang inklusif,” tuturnya.
Menurut Dudi, masalah utama yang sering dihadapi oleh penyandang disabilitas adalah aksesibilitas terhadap fasilitas umum dan transportasi yang tidak ramah disabilitas. Meskipun ada kewajiban untuk menyediakan akses tersebut, banyak lokasi yang belum memenuhi standar yang ditetapkan dalam UU.