JABAR EKSPRES – Bayangkan satu titik ledakan dapat meruntuhkan semua yang telah Anda bangun dalam sekejap. Itulah kekuatan kemarahan. Namun bagaimana jika ada kunci tersembunyi untuk mengendalikannya?
Universitas Harvard. Elizabeth Phelps dan timnya mempelajari bagaimana kemarahan mempengaruhi otak kita (Phelps, E.A. et al., 2006, “Emotions and Cognition: Insights from Studies of the Human Amygdala”). Mereka menemukan bahwa amigdala, bagian otak yang mengendalikan emosi, menjadi sangat aktif saat Anda marah. Ini menimbulkan pertanyaan. Bisakah kita membuat otak bereaksi berbeda?
Mari kita beralih ke Universitas California. Profesor Matthew Lieberman telah menunjukkan bahwa mengungkapkan perasaan marah secara verbal dapat mengurangi aktivitas di amigdala (Lieberman, M.D., et al., 2007, “Putting Feelings to Words”). Dengan kata lain, verbalisasi itu penting. Tapi apakah ada yang lebih dari sekedar berbicara?
Dari perspektif psikologi perilaku, Dr. Aaron Beck, pendiri terapi kognitif, menekankan pentingnya mengubah pikiran negatif yang mendasari kemarahan (Beck, A.T., 1999, ” Prisoners of Hate: The Cognitive Basis of Anger, Hostility, dan Kekerasan”). Menurut Beck, kemarahan adalah hasil penafsiran kita terhadap peristiwa tersebut, bukan peristiwa itu sendiri.
Baca juga: 10 Kunci Meraih Kesuksesan dengan Memanfaatkan Waktu Sebaik Mungkin
Namun ada lebih dari itu: Profesor Jon Kabat-Zinn dari Fakultas Kedokteran Universitas Massachusetts telah menerbitkan makalah tentang Pengelolaan Pikiran yang Penuh Perhatian Emosi Negatif (Kabat – Zinn, J., 1994, “Ke mana pun Anda pergi, di situlah Anda: Perhatian. Meditasi dalam kehidupan sehari-hari’”). Melalui teknik ini, kita belajar bagaimana mengamati emosi kita tanpa tersesat di dalamnya.
Namun penemuan paling mengejutkan datang dari penelitian kecil di Universitas Tokyo. Para peneliti telah menemukan bahwa kemarahan, yang sering kali dianggap merusak, sebenarnya dapat meningkatkan kreativitas dan pemecahan masalah dalam kondisi tertentu (Kasai, K., dkk., 2008 , “Kemarahan dan Peningkatan Kreativitas”).
Ada perkembangan yang tidak terduga di sini. Emosi yang kita anggap destruktif bisa jadi ternyata konstruktif.
Dalam perjalanan penemuan ini, kita belajar bahwa kemarahan bukan sekedar ledakan emosi yang harus ditekan.