Dana Kampanye Tak Masuk Akal karena Lemahnya Instrumen Penegakkan Hukum dan Keterbatasan Bawaslu

JABAR EKSPRES – Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan turut merespons kemelut laporan dana kampanye Partai Politik. Menurutnya, transparansi dan keterbatasan dari Bawaslu jadi masalah sehingga kerap muncul nominal dana kampanye yang cenderung tidak masuk akal.

 

Firman menguraikan, persoalan transparansi terhadap pendanaan partai politik tanah air masih simpang siur. Artinya belum sepenuhnya transparan. “Masalahnya masih belum ada transparansi,” katanya kepada Jabar Ekspres, Kamis (18/1).

BACA JUGA: Penahanan Ijazah Masih Terjadi, Aduan Terbanyak dari Kota Bandung

 

Firman melanjutkan, efektifitas instrumen penegakkan hukum terkait dana kampanye juga masih cukup terbatas. Misalnya kewenangan dan sumber daya dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam mengawasi dana kampanye.

 

Hal itulah yang membuat partai politik cenderung tidak patuh terkait dana kampanye. “Makanya kerap muncul angka-angka yang kadang tidak masuk akal,” imbuhnya.

 

Lemahnya instrumen hukum ini membuat parpol seakan merasa tidak ada kewajiban untuk membuka dana kampanye. Di sisi lain baru-baru ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) justru menemukan aliran dana asing yang cukup jumbo ke sejumlah rekening bendahara parpol ataupun calon legislatif. “Ini kan juga makin mendukung ketidak sesuaian profil dana kampanye yang ditampilkan secara resmi,”cetusnya.

 

Menurut Firman, fenomena dana kampanye yang tidak masuk akal itu sudah berlangsung cukup lama. Untuk menindak atau menertibkan masalah itu maka dibutuhkan komitmen yang serius dari berbagai pihak. Termasuk dari penguatan regulasi, kewenangan Bawaslu hingga peningkatan sumber daya Bawaslu.

 

Sementara itu merujuk rekap Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) KPU Jabar tercatat PKS dan PPP jadi partai yang paling tajir dari sisi penerimaan. PKS mencatatkan penerimaan sebesar Rp3,6 miliar. Penerimaan itu berasal dari sumbangan partai politik tingkat provinsi sebesar Rp2,8 miliar dan penerimaan dalam bentuk barang hasil pembuatan APK senilai Rp719 juta.

 

Sementara PPP mencatatkan penerimaan sebesar Rp3,5 miliar. Penerimaan PPP ini bersumber dari sumbangan partai politik tingkat provinsi dalam bentuk barang. Di sisi lain, sejumlah partai politik juga ada yang mencatatkan penerimaan dengan nominal yang cukup minimalis. Pertama adalah PSI dengan hanya Rp 1 juta, Partai Hanura Rp 1 juta, Perindo Rp 2 juta, dan PKN dengan tanpa ada catatan penerimaan. Jika didetailkan, rekapan penerimaan itu memang belum memasukkan catatan transaksi jasa yang berisi pemasukan dan pengeluaran jasa kampanye calon legislatif.(son)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan