Konflik Agraria Kabupaten Sumedang, PJ Bupati Dinilai Abaikan Kelompok Tani

JABAR EKSPRES – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, tengah menyoroti persoalan agraria yang terjadi di wilayah Kabupaten Sumedang.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin mengatakan, hampir di seluruh sektor terjadi penguasaan secara besar-besaran atas sumber agraria.

“Sebesar 71 persen dikuasai oleh perusahaan dan kehutanan, 16 persen oleh perusahaan perkebunan, 7 persen dikuasai golongan kaya dan sisanya oleh masyarakat miskin,” kata Wahyudin kepada Jabar Ekspres, Kamis (28/12).

Menurutnya, dampak dari penguasaan secara besar atas sumber agraria itu, sebanyak 10 persen orang terkaya dinilai menguasai 77 persen kekayaan nasional.

BACA JUGA: Minimnya Saluran Air di Cimahi, Menjadi Penyebab Banjir di Sejumlah Wilayah

“Tanah menjadi objek investasi, akibatnya rata-rata kepemilikan tanah kurang dari 0,3 hektare,” ujar Wahyudin.

Melalui informasi yang dihimpun Jabar Ekspres, lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960, yang diperingati bersamaan dengan Hari Tani Nasional, mengamanatkan perubahan mendasar terhadap prinsip-prinsip hukum agrarian kolonial.

Dari pengukuhan hukum adat, pelarangan monopoli penguasaan tanah dan sumber agrarian lain, pengikisan praktik feodalisme, serta jaminan kesetaraan hak atas tanah bagi laki-laki dan perempuan, merupakan prinsip-prinsip UUPA untuk mewujudkan keadilan sosial.

Setelah 57 tahun UUPA diundangkan, para praktik di lapangan justru ketimpangan struktur agraria dan konflik agrarian masih terus terjadi.

Wahyudin menerangkan, apabila melihat riwayat pada 2018 lalu, Presiden RI, Joko Widodo sempat mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 86 tahun 2018, tentang Reforma Agraria, juga melalui Perpres nomor 62 tahun 2023, tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.

BACA JUGA: Cimahi Siaga Bencana, Dinas Pendidikan Gencar Tangani Kerusakan Sekolah Akibat Longsor

“Peraturan tersebut, telah memandatkan percepatan proses penataan kembali kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui penataan aset, akses, serta penyelesaian konflik pertanahan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat,” terangnya.

Akan tetapi, Wahyudin menilai, pada implementasin dari Perpres tersebut tidak berjalan dengan baik di Indonesia, termasuk salah satunya yang terjadi di Kabupaten Sumedang.

“Terkait konflik agraria di Kabupaten Sumedang, terjadi sudah cukup lama, seperti yang dialami warga Desa Citengah, Kecamatan Sumedang Selatan,” bebernya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan