Peta Permasalahan Arus Informasi di Era Post-Truth

Oleh karena itu, dalam konteks marketing pun telah terjadi pergeseran model, dari model AIDA ke model AISAS. Pola pemasaran konvensional model AIDA (attention, interes, desire, dan action) telah bertransformasi menjadi AISAS (attention, interes, search, action, dan share).

Elemen ”search dan share” merupakan pembeda yang rawan dan bisa direkayasa ke arah pengelabuan dengan imbuhan tampilan kemewahan yang berlebihan dan pembingungan ke arah post-truth. Dengan demikian maka pilar-pilar kelembagaan pun perlu diperkokoh untuk memperkuat fungsi penyebaran informasi, pemantauan, verifikasi, validasi, dan pengawasan agar terhindar dari praktik berita dan informasi dengan klasifikasi Non Verified Information (NVI).

Memang platform dan ekosistem digital ini memiliki fungsi yang sangat ampuh dan menarik jika dimanfaatkan ke arah yang positif. Karena kegiatan manusia kini dapat terbantu dengan platform digital yang mutakhir dengan karakter 10 V (volume, velocity, variety, veracity, value, validity, variability, venue, vocabulary, vagueness). Komponen 10 V yang terintegrasi dalam big data dapat dimanfaatkan untuk kehidupan dan peradaban baru.

Pembenahan yang holistik pada tingkatan makro, meso, dan mikro sangat mendesak untuk dilakukan. Kejadian Binomo, dan Pro, Robot Trading, dan lain sebagainya merupakan indikator masih rapuhnya masyarakat Indonesia yang belum memahami bahaya post-truth, flexing, serta trik lainnya dalam pemasaran digital.

Pengelabuan dengan suguhan flexing dalam proses endorsing, influencing, hingga decision-making sedang marak di Indonesia. Mulai dari pancingan iklan berita di media sosial hingga tontonan film pendek di platform digital dan aplikasi lainnya.

Tidak mudah untuk berselancar di atas gelombang informasi yang makin membesar dan nyaris tidak terkendali ini. Dimana kebohongan mudah disamarkan menjadi kebenaran. Sebaliknya, yang benar dinarasikan bohong oleh pihak-pihak tertentu sehingga rasionalitas dikalahkan oleh rekayasa konten dan teknologi yang canggih.

Hal ini diperparah oleh kebiasaan masyarakat yang pada umumnya enggan melakukan verifikasi, validasi, ataupun tracking/tracing uji kebenaran suatu berita. Rasionalitas manusia menjadi terganggu dalam proses berpikir normal yang seharusnya menjadi basis dalam setiap perilaku.

Saat ini sangat dibutuhkan kolaborasi dan elaborasi antar pihak yang terkait agar mau untuk bahu membahu bekerjasama dalam ritme yang sama untuk Indonesia tercinta. Setiap elemen masyarakat seperti berbagai komunitas dan media perlu dilibatkan dalam orkestrasi proses edukasi, sosialisasi, dan verifikasi.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan