Beberapa politisi dari partai-partai sayap kanan dan sayap kanan telah mendukung langkah tersebut, dengan alasan bahwa abaya merupakan bagian dari agenda yang lebih luas untuk memaksakan norma-norma agama pada masyarakat.
BACA JUGA: Dunia Muslim Mengutuk Aksi Pembakaran Al-Qur’an yang Diizinkan oleh Pemerintah Swedia
Namun, langkah ini juga menghadapi kritik dari beberapa politisi dari partai kiri dan banyak Muslim, yang menuduh pemerintah menggunakan sekularisme sebagai dalih untuk kebijakan Islamofobia.
Mereka berpendapat bahwa beberapa wanita memilih untuk mengenakan abaya, atau jilbab, sebagai cara untuk mengekspresikan identitas budaya mereka, bukan karena keyakinan agama mereka.
Langkah ini juga dapat menimbulkan tantangan praktis bagi otoritas sekolah, yang harus menentukan kapan sebuah pakaian menjadi simbol agama, dan bukannya pilihan mode pribadi.
Langkah ini juga kemungkinan akan ditentang di pengadilan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia, yang mengecamnya sebagai pelanggaran kebebasan beragama.
Larangan abaya adalah yang terbaru dari serangkaian tindakan kontroversial yang menargetkan pakaian wanita Muslim di Prancis.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa politisi konservatif telah menyerukan untuk memperluas larangan simbol-simbol agama ke universitas dan bahkan orang tua yang menemani anak-anak dalam perjalanan sekolah.
Pemimpin partai sayap kanan, Marine Le Pen, juga berkampanye dalam pemilihan presiden 2020 untuk melarang cadar dari semua ruang publik.