Purwanto menambahkan, kita mendapatkan tugas dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan bisnis, manajemen, akuntansi, dan ekonomi di Indonesia, maka kami berkolaborasi dengan AACSB. Sehingga kemudian standar LAMEMBA itu juga sudah cukup, kita memiliki tingkatan akreditasi Baik, Baik Sekali, dan Unggul. Nah yang Unggul ini nanti kita lihat lagi lebih spesifik yang bisa kita dampingi untuk mendapat akreditasi AACSB.
“Tapi itu membutuhkan waktu, dan masalah di kita itu adalah rasa kurang percaya diri. Sebetulnya kebanyakan sekolah bisnis good enough for AACSB tapi tidak memiliki rasa kepercayaan diri. Semakin banyak sekolah di Indonesia yang terakreditasi oleh lembaga internasional, semakin berpeluang membuka kolaborasi mitra global,” tambahnya.
Sementara itu, Abdul Rahman Kadir dari Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Indonesia (AFEBI) menjelaskan, AFEBI mendorong seluruh akreditasi unggul untuk masuk ke standar AACSB. Pihaknya berharap sekolah bisnis ITB bersama AFEBI untuk membuat standarisasi-standarisasi yang meningkat.
“Itulah mengapa hari ini sebenarnya sudah mulai, bahwa Indonesia sudah berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan bisnis dengan melalui pengakuan-pengakuan internasional. Tidak hanya setelah akreditasi langsung selesai, tapi terus mempertahankan kualitasnya. Kita terus meningkatkan standar sekolah, terutama pada kapasitas individu. Jadi harus benar-benar profesional sebagai dosen, mereka harus menjadi peneliti, sehingga bahan-bahan penelitian tersebut bisa diajarkan kepada mahasiswa,” jelasnya.
Selain akreditasi, dampak konkritnya dirasakan sekolah bisnis jika sudah mendapatkan akreditasi AACSB.
Dalam kesempatan yang sama, Plt. Wakil Dekan Akademik SBM ITB, Prof. Tjandra Anggraeni mengungkapkan, Banyak hal yang dirasakan oleh SBM ITB terkait dengan pengakreditasian ini.
“Ada dua hal yang mungkin paling terlihat, pertama sebagai anggota AACSB pertemuan-pertemuan Internasional jadi sering dilakukan, sehingga terbuka ruang untuk diskusi, jadi meskipun sudah mempunyai kurikulum, sudah memiliki standar, tapi seiring berjalannya waktu itu kan pasti ada perubahan, ada hal baru yang perlu dikembangkan dan itu ada di diskusi networking ini. Kedua, karena SBM ITB ini kan ada kelas Internasionalnya, jadi yang double degree Internasional tentunya SBM ITB ini memerlukan sekali kolaborasi universitas luar, ketika sudah terakreditasi ini yang namanya diskusi dan tawaran itu menjadi lebih ada, kita bisa lebih mudah untuk duduk bersama dengan universitas luar bahkan dari luar negeri pun jadi ingin duduk bersama dengan SBM ITB, itu dampak yang jelas,” ungkap Prof. Tjandra.