Tata Kelola Ruang di Bandung Buruk, Kadar Air dan Udara Perlu Perhatian

“Fungsinya untuk menutupi area penampungan air sekaligus menjaga kadar air tanah di kawasan tersebut,” lanjutnya.

Akan tetapi, karena wilayah-wilayah yang dulunya disebut sempat ada seke atau situ beralih fungsi oleh pembangunan, maka Pemkot Bandung berupaya membuat mata air baru guna meminimalisir dampak lingkungan.

“Dibuat situ-situ baru dengan berbagai penamaan, karena pemerintah menyadari bahwa mereka salah dalam konteks penataan tata kelola ruang,” imbuhnya.

Dedi menerangkan, perlunya pengkajian baik dalam tata kelola RTH maupun pembuatan situ, sebab fungsi mata air di satu wilayah belum tentu sama dengan wilayah yang lain.

“Harus melihat titik situ ini secara komperhensif, dalam konteks fungsi menyerap air dan sebagainya. Tapi jika fungsi lama ditutup lalu buat fungsi baru, itu belum tentu berfungsi,” terangnya.

Dedi menyampaikan, keberadaan situ atau seke tidak bisa dipukul rata, secara logika apabila satu wilayah terdapat mata air kemudian dialihkan ke daerah lain mata airnya, belum tentu memberikan efek yang sama.

Oleh sebab itu, Pemkot Bandung tidak bisa parsial dalam membuat seke di kewilayahan.

“Bukan tidak mendukung adanya seke baru, tapi konteksnya kebijakan pemerintah yang salah itu mengakibatkan kerusakan lingkungan, kemudian dialihkanlah fungsi ruang ke tempat lain untuk meminimalisir kerusakan tersebut,” tutur Dedi.

“Itulah bentuk kegagalan Pemkot Bandung dalam tata kelola ruang pembangunan. Saking merasa bersalahnya mereka membuat sistem-sistem seke baru,” lanjutnya.

Dedi menilai, penyesuaian tersebut harus dikaji secara komperhensif, supaya keberadaan tata ruang tak sebatas menunjang aktivitas masyarakat, tapi juga mendukung keberlangsungan ekologis.

Karenanya, pemenuhan syarat untuk kebutuhan udara yang sehat di wilayah kota/kabupaten, selain mampu memberikan penampungan air sesuai juga harus bisa memprioritaskan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

“Konteks RTH untuk kabupaten/kota dilihat dari bagaimana situasi kawasan, untuk memberikan keseimbangan,” ujar Dedi.

“Contoh 30 persen RTH wajib di wilayah perkotaan, tapi di area penduduknya belum padat seperti Kalimantan untuk kota/kabupaten tidak mungkin 30 persen RTH, pasti lebih,” lanjutnya.

Diketahui, pemanfaatan RTH sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, tertuang bahwa sekitar 30 persen kawasan di perkotaan harus memiliki RTH dengan komposisi sebanyak 20 persen digunakan di ruang publik dan sisanya 10 persen untuk privat.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan