Minim Regenerasi, Perajin Wayang Golek Terancam Punah

BANDUNG – Tatang Haryana adalah salah satu perajin wayang golek di Kota Bandung yang masih eksis. Pria 69 tahun itu khawatir karena krisis regenerasi yang bakal melanjutkan kerajinan itu dari para generasi muda.

Tatang tingal di salah satu gang sempit di Kota Bandung. Tepatnya di Kelurahan Cikawao, Kecamatan Lengkong. Rumahnya juga sekaligus menjadi tempat produksi wayang dengan nama Ruhiyat Wooden Puppet & Mask. Itu juga warisan turun temurun dari (alm) Ruhiyat.

Saat ditemui Jabar Ekspres, Selasa (14/3), kondisi Tatang juga sudah tidak seaktif biasanya. Maklum pria 69 tahun itu baru sembuh dari stroke.

Di rumah sederhana itulah tatang biasa memproduksi wayang golek. Tapi beberapa tahun terakhir produksinya berhenti. “Karena sakit dan ada pandemi juga,” kata Tatang.

Salah satu sudut rumah tatang disulap jadi bengkel produksi aneka kesenian itu. Nampak terdapat beberapa bahan baku wayang golek, kayu yang sudah terpahat, wayang golek setengah jadi, hingga bekas cat warna – warni.

Untuk wayang yang sudah jadi, Tatang menempatkannya di salah satu ruang sudut rumahnya. Ada beragam karakter wayang. Mulai dari wayang Cepak asal Cirebon, karakter tokoh mahabharata, ramayana, maupun Cepot. Tokoh wayang golek yang cukup terkenal itu.

Di tempat itu juga Tatang menceritakan perjalanan kerajinan wayang warisan keluarga itu. Mulai dari perjalanan sang kakek, perjalanan rumah produksi, hingga perjalanan saat ini sebagai penerus generasi ketiga. “Kakek sudah buat wayang sekitar tahun 1930 an,” katanya.

 

Wayang Golek Sangat Melegenda

 

Kerajinan wayang itu sebenarnya juga sudah cukup melegenda. Karya karyanya sudah tembus ke mancanegara. Bahkan tidak sedikit turis asing berkunjung ke rumah produksi wayang tersebut. Itu juga jadi salah satu alasan kenapa nama rumah produksi itu dibuat berbahasa inggris.

Tatang menceritakan, salah satu keprihatinan yang kini dirasakan adalah persoalan regenerasi. Tidak banyak generasi muda yang mau belajar untuk membuat wayang golek. Padahal itu merupakan salah satu kekayaan budaya khas Sunda. “Kalau tidak ada yang mau melanjutkan, bisa punah,” keluhnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan