Pengrajin Keramik Kiaracondong Kota Bandung Masih Tetap Eksis

Kosim mengatakan, saat ini warga yang menggeluti keramik semakin berkurang. Kebanyak warga disini lebih memilih profesi lain.

Untuk penjualan, Kosim mengakui saat ini keramik Kiaracondong kurang peminat. Sebab, kalah bersaing dengan keramik-keramik impor dari China.

‘’Kalau keramik impor sekarang sudah menggunakan teknologi canggih, produksinya juga sudah skala industri,’’ ujar Kosim.

Meski begitu, Kosim optimis keramik Kiaracondong masih ada penggemarnya. Meski dalam memproduksi masih menggunakan cara-cara tradisional.

Ditemui ditempat yang berbeda, pengrajin lainnya, Yuyun Wahyudin (51) menceritakan kiprahnya di bidang industri keramik yang susah ia tekuni sejak tahun 1997.

“Saya sejak tahun 1997 sudah mulai membuka usaha ini , sampai saat ini alhamdullilah kami sudah bisa menyuplai ke Aceh, Medan, Lampung, Pekanbaru, Palembang, Banjarmasin, Manado dan NTT dengan omzet mencapai Rp 20 juta per bulan,” paparnya.

Untuk pemasarannya, Yuyun mengaku tidak mengalami kesulitan. Hal itu karena konsumennya merupakan pelanggannya sejak lama.

Hal itu yang membuatnya mampu memproduksi sebanyak 75-150 keramik setiap hari dengan kisaran harga Rp 15.000 hingga Rp 1,5 juta.

“Untuk pemasaran, kami sudah punya pelanggan tetap. Alhamdullilah kita saling menguntungkan. Saya juga selalu menekankan kepada pengrajin untuk selalu teliti dalam proses pembuatan keramik supaya kuat dan tahan lama,” imbuhnya.

Sementara itu, Lurah Sukapura, Asep darojat (56) mengatakan, usaha ini sudah menjadi identitas bagi kecamatan Kiaracondong.

Banyak pengrajin yang dapat mengirim ke seluruh Indonesia. Menurutnya, awal mula sentra keramik Kiaracondong berasal dari keluarahan Sukapura, Kecamatan Kiaracondong.

Namun setelah kebijakan bapak camat, akan memusatkannya di kelurahan Kebon Jayanti.

‘’Saya selalu mendukung segala upaya untuk memajukan sentral industri keramik yang ada di sini,” katanya.

Asep berharap, industri sentra di Kiaracondong bisa maju dan dapat bersaing dengan produk-produk luar negeri.

“Jangan sampai hilang. Kita bersama-sama mempertahan kanya. Karena untuk mengembangkan ciri khas suatu daerah perlu konsisten supaya terus terjaga dan bersaing dengan produk luar,” ujarnya.

Selain itu tepat di depan Stasiun Kiaracondong. Didin yang meruakan seorang pemuda setempat lebih memilih menggeluti profesi sebagai pengrajin.

Tinggalkan Balasan