Cerita Hidup Unang, Tiap Hari Berendam di Dasar Sungai

Pasir kemudian dijual ke pengepul dengan mengunakan truk-truk milik para juragan pasir yang datang tiap hari.

Harga perkubiknya cuma Rp 60 ribu. Unang sendiri dalam sehari hanya membawa pulang uang sebesar Rp 150 ribu untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Setelah diangkut truk, pasir-pasir dibawa pengepul dan dijual langsung kepada penampung. Kemudian pasir digunakan untuk proyek-proyek yang dikerjakan pemerintah atau pun pengembang perumahan.

Seraya melepas lelah, Unang mengaku dari hasil menambang pasir hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Unang sendiri masih memiliki anak yang masih sekolah. Jika Unang tidak menambang Pasir, terpaksa anak bungsunya itu hanya diam di rumah. Sebab tidak memiliki ongkos untuk berangkat sekolah.

Sedangkan anak pertama Unang hanya tamatan SMP dan terpaksa hanya bekerja sebagai kuli bangunan. Meski begitu, Unang masih memiliki domba kesayangan yang bisa ia jual ketika terdesak kebutuhan.

Menambang pasir dengan cara tradisional  sebetulnya memberikan manfaat untuk mencegah pendangkalan aliran sungai.

Sungai Cihea yang terletak diperbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur itu, dulunya banyak sekali para penambang pasir.

Beberapa juragan pasir ikut menambang dengan menggunakan perahu besar dan alat berat. Namun cara seperti itu kemudi dilarang oleh pemerintah. Karena merusak habitat lingkungan sungai.

Jika turun hujan deras adalah berkah tersendiri bagi Unang. Sebab, pasir-pasir yang berasal dari hulu sungai akan terbawa arus sungai.

Namun Unang mengaku, semenjak usia sudah tidak muda lagi, Unang sering merasakan sakit pada tubuhnya ketika lama berendam di sungai.

Unang sendiri pernah mengalami gatal-gatal pada kulit tubuhnya. Mungkin air sungai Cihea sudah terkontaminasi limbah pabrik. Akan tetapi karena tidak ada pilihan lain, pekerjaan menambang pasir tetap digeluti Unang  dengan sabar.

Tinggalkan Balasan