Anggota dewan dapat anggaran perjalanan untuk berkunjung ke daerah pemilihannya itu. Tidak harus ada laporan pertanggungjawaban: apakah ia/dia benar-benar melakukan perjalanan atau tidak.
Aspirasi masyarakat tersebut dicatat oleh anggota dewan. Lalu dibuatlah proposal proyek. Yang membuat bisa masyarakat sendiri. Bisa juga anggota dewan. Bahkan sering juga proposal itu dibikinkan pihak ketiga.
Proposal itulah yang diajukan ke Pemda. Lalu dimasukkan ke rencana anggaran (RAPBD). Rencana anggaran itu dibahas bersama antara Pemda dan DPRD.
Kalau proposal hasil serap aspirasi itu tidak dimasukkan bisa jadi RAPBD tidak disahkan. Pengesahan APBD itu biasanya terjadi di bulan November. Berarti, untuk APBD tahun 2023 sudah disahkan bulan lalu.
Karena sudah disahkan, maka anggota DPRD sudah tahu bahwa usulannya sudah masuk APBD. Berarti sudah pasti sudah disediakan anggarannya. Tinggal tunggu pelaksanaan proyek di tahun 2023.
Sahat Simanjuntak itu misalnya, ia sudah tahu: berapa puluh miliar nilai proyek usulannya yang sudah masuk APBD. Ia bisa dapat uang dari situ. Untuk modal ikut Pemilu yang keempat kalinya 2024 nanti.
Uang tahun 2023 itulah yang diincar, agar bisa didapat lebih awal. Maka dicarilah siapa yang bisa membayar lebih dulu: 20 persen dari nilai proyek.
Sahat sendiri sebenarnya dipilih oleh rakyat Ngawi-Magetan-Ponorogo, Pacitan-Trenggalek. Tapi karena ia wakil ketua, wilayah proyeknya lebih luas dari dapilnya. Maka jangan heran kalau proyek wakil rakyat Ngawi ini ada di Sampang, Madura. Proyek di Sampang inilah yang membuat Sahat ditangkap.
Fathorrasjid dulu sebenarnya lebih halus. Ia dapat uang Jasmas dari selisih harga barang. Tidak sampai ijon seperti Sahat. Hebatnya, Fathorrasjid tidak “menggigit” pimpinan atau anggota DPRD yang lain. Semua ia akui sendiri. Anggota yang lain pun selamat. Atau mereka bisa cari selamat dengan cara masing-masing. Atau dengan cara terkoordinasi.
Fathorrasjid menjalani hukuman 4 tahun penjara. Begitu keluar penjara ia bisa bebas selama-lamanya: ia meninggal dunia.
Meski bisa menyelamatkan semua anggota DPRD Jatim, Fathorrasjid tidak bisa menyelamatkan dua orang dokter: dokter Bagoes Soetjipto dan dokter I Komang Ivan Bernawan. Nama dua dokter terlibat karena ada di proposal proyek.