“Kemudian, manipulasi daftar pemilih, itu luar biasa, ini juga zaman Pak SBY. Dimana, di zaman Pak Harto saja, tak pernah melakukan manipulasi DPT. Ini DPT dimanipulasi secara masif. Belanja iklan juga, ini duitnya dari mana?” tambah Hasto.
Dari strategi kebijakan, saat itu ada kenaikan harga BBM. Kondisi era SBY berbeda dengan jaman Jokowi saat ini. Saat menjabat, SBY mewarisi kondisi fiskal yang baik hasil kerja Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dengan defisit di bawah 1 persen. Saat itu, terjadi kestabilan moneter dan keuangan, krisis IMF juga diselesaikan.
“Tapi kemudian ternyata di balik kenaikan BBM itu justru terjadi suatu politisasi yang luar biasa bagi kepentingan elektoral. Ini ada kajian ilmiahnya. Bagi mereka yang membantah, nanti harus dibantah juga secara ilmiah. Ini mencakup BLT, raskin, dan PNPM. Nah, ini dari Markus Mietzner, model dana tunai langsung ke pemilih, seperti yang dilakukan Thaksin, merupakan jurus utama kemenangan Partai Demokrat,” kata Hasto.
Baca Juga:Cara Perhatian dengan Diri Sendiri, Sudah Self-Love Kah Kamu Hari Ini?Pemkab Bogor Ajukan Kuota PPPK Guru, Segini Jumlahnya
Juni 2008, survei menunjukkan elektabilitas PD hanya 8,7 persen, jauh di bawah PDI Perjuangan sebesar 24,2 persen. Pada saat bersamaan, elektabilitas Megawati 5 persen di atas SBY.
Para analis politik saat itu sependapat bahwa itu adalah akhir dari era SBY karena rakyat lelah dengan kepemimpinan yang tidak memberikan inspirasi. Hasto lalu memaparkan data kenaikan popularitas dan elektabilitas SBY dan PD pada 2009, yang oleh Markus Mietzner disebut sebagai ‘skyrocketing’.
“Karena dari bulan Juni 2008 sampai April 2009, digunakan sebesar 2 miliar us dollar, ini hasil penelitian, dipakai dari politik anggaran negara untuk kepentingan elektoral. Maka kemudian terjadi skyrocketing, menurut Marcus Mietzner, dari 25 persen menjadi 50,3 persen. Ini yang kemudian menciptakan kerusakan demokrasi kita karena diikuti oleh para kepala daerah kita,” katanya.
Dan SBY bermanuver lagi dengan mengumumkan langsung penurunan harga BBM. Dan hal itu dipolitisasi sebagai hasil kerja pribadi, bukan sebagai dampak pengaruh kondisi ekonomi internasional yang merupakan alasan sebenarnya. “Ini juga untuk kepentingan elektoral,” imbuhnya.
Sementara di era SBY itu, Blok Cepu malah diserahkan dari Pertamina ke Exxon yang merupakan perusahaan asing. Berbeda dengan Presiden Jokowi yang justru mengamankan sektor hulu energi dengan mengakuisi Blok Mahakam dan Blok Rokan. Langkah Jokowi ini demi membangun kedaulatan energi serta hilirisasi energi. “Pak SBY 10 tahun sama sekali justru membuat kita tergantung asing,” ujar Hasto.