Co Ba
Abah ini, mentang2 yg diulas adalah seorang dokter hewan, eh diksi yg dipakai “kawin”. Saya jadi terbayang liar dan ngaco: misal Abah menawarkan makan ke drh.Indro, apakah Abah selaras dg diksi “kawin” akan bilang “mbadhog yuk dok”. Dan misal Abah menawarkan minum ke drh.Indro, Abah akan bilang “monggo di-gloghog teh e/ banyu putihe”. Terakhir, saat Abah lihat drh.Indro dan nyonya jawil2an, apakah Abah akan bilang “wis ndhang ngamar kono” eh keliru sih, biar selaras diksi yg dipakai bakalan gini “wis ndhang ngandhang kono”. Peace… lewat komen ini saya hanya turut berkontribusi mem-bully drh.Indro, kan ada nyonya sebagai penguat. Wis jawil2an maneh wis iki engko.
yea aina
Peneliti hebat bermental tangguh, mungkin saja memang harus berproses dengan cara disiplin tangguh pula. 17 kali revisi mempraktekkan cara keringkan virus versi Prof Worral, adalah salah satu bukti ketangguhan mental peneliti drh Indro. Apakah prosedur yang sama dilakukan BRIN ketika menyeleksi proposal penelitian yang didanainya? Semoga saja. Mungkin proposal senilai 6 mily untuk renovasi ruang kerja, juga harus revisi 17 kali hingga di acc APBN juga ya, biar penggunanya tangguh dan hebat.
Johannes Kitono
Tidak jelas bgmn caranya drh Indro Cahyono olah virus jadi bubuk dan sesudah 6 bulan bisa dihidupkan lagi. Saya dan anda tidak perlu tahu. Apakah tekniknya sama seperti kapsulasi telur artemia, pakan hidup untuk balita udang dan ikan ? Telur artemia kering yang tersimpan dikaleng ” bisa dihidupkan lagi hanya ” dalam tempo 18 – 24 jam”. Tentu saja hidup dan langsung bisa berenang. Salt Lake , Utah, adalah salah satu habitat hidup dan tempat panen telur artemia. Dan harganya cukup tinggi, 1 kaleng isi 425 gram sekitar Rp.750 ribu. Konon, dulu di pulau Madura yang kadar salinitas lautnya tinggi pernah dicoba budidaya Artemia. Apakah sukses atau gagal, pasti Disway lebih tahu.
*) Dari komentar pembaca http://disway.id