Ghibah Tidak Selalu Menimbulkan Dosa, Berikut 6 Kondisi yang Membuat Ghibah Dibolehkan

Misalnya, “Apa pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang melakukan hal seperti ini?”. Maka dengan cara seperti ini tentunya akan tetap mencapai tujuan si penanya yaitu meminta fatwa, meskipun tanpa dibarengi dengan spesifikasi atas orang yang dibicarakan.

Keempat, memberi peringatan kepada muslimin dari keburukan dan menasehati mereka.

Dalam jenis yang keempat ini Imam Nawawi memberikan beberapa macam contoh. Di antaranya, men-jarh (mengomentari buruk) para perawi hadis yang memang buruk kredibilitas maupun intelektualitasnya.

Untuk yang pertama ini diperbolehkan secara ijmak, bahkan wajib karena adanya kebutuhan untuk memilah hadis-hadis yang shahih dari yang lemah.

Contoh lainnya, jika tampak seorang yang faqih sering mengunjungi pelaku bid’ah atau orang fasik untuk mengambil ilmu darinya.

Kemudian ada kekhawatiran akan menimbulkan mudarat karena hal itu, maka wajib baginya untuk dinasehati dengan menjelaskan keadaan si pelaku bid’ah atau orang fasiq tersebut. Hal ini boleh dilakukan dengan syarat tujuannya adalah untuk menasehati.

Kelima, membicarakan orang yang terang-terangan (mujahir) atas kefasikan atau kebid’ahannya.

Misalnya orang yang terang-terangan minum khamr, merampas/memperbudak manusia, menarik pajak secara zalim, atau mengerjakan perkara-perkara yang batil.

Maka boleh menceritakan kefasikan orang-orang tersebut. Dan hukumnya haram jika pada selain aib-aib yang telah disebutkan, kecuali jika ada sebab lain yang memperbolehkan.

Keenam, sebagai identitas atau pengenal

Jika seseorang dikenal dengan suatu laqab (gelar) tertentu, seperti al-a’masy (orang yang kabur penglihatannya), al-a’raj (orang yang pincang), al-asham (orang yang bisu tuli), al-a’ma (orang yang buta), dan al-ahwal (orang yang matanya juling), atau gelar lainnya, maka boleh mengenalnya dengan sebutan itu.

Dan haram memutlakan dari sisi aibnya (dengan maksud mencelanya). Namun jika memungkinkan untuk mengenalnya dengan sebutan yang lebih baik, maka itu lebih utama. (Lihat Imam an-Nawawi, Riyadhus Shalihin, Beirut: Daar ibn Katsir, hlm 425-427).

 

 

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan