JABAREKSPRES – Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena manusia silver menjadi sorotan masyarakat karena kreasi mereka terlihat unik di pinggir jalan. Mereka sengaja mengecat tubuh mereka dengan cat warna silver metalic dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Mirisnya, kreasi itu dilakukan bukan sekadar ajang atraksi seni di jalan, melainkan untuk mengemis atau meminta uang dari masyarakat. Dalam rangka Hari Anak Nasional (HAN), fenomena itu tak sedikit pula yang membawa atau mengajak anak-anak termasuk balita untuk didandani menjadi silver atau perak lalu mengemis di jalan.
Sebetulnya, bagaimana fenomena manusia silver itu berawal? Di Eropa, fenomena ini sudah bukan hal yang baru. Di sana, para performer melakukannya sebagai atraksi seni.
Salah satunya pada tahun 2017, laporan Gigazine, menyebutkan salah satu penampilan manusia silver pernah dilakukan di pusat kota Covent Garden di pusat kota London, Inggris. Saat itu artis jalanan ‘Silverman’ beratraksi melayang ringan di udara dengan satu tangan dan membuat gerakan yang mustahil. Ada juga yang beratraksi dengan gerakan pantomim.
Di Indonesia, laporan Pusat Penyuluhan Sosial Kementerian Sosial menyebutkan, fenomena anak jalanan manusia silver ini dapat dilihat di persimpangan jalan, dan tempat keramaian lainnya. Mereka mencari nafkah di tempat tersebut, untuk bertahan hidup atau membantu kehidupan keluarganya. Fenomena manusia silver ini diperkirakan ada sejak tahun 2020 dan sering dijumpai pada sejumlah kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bodetabek, Bandung, Jogjajarta, Surabaya. Para manusia silver ini beragam mulai dari anak kecil hingga orang dewasa, ada yang laki-laki dan ada pula yang perempuan.
Jadi Ajang Eksploitasi Anak
Pengamat Sosial dan Pengajar Tetap Vokasi Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan kemunculan manusia silver ini menjadi bukti bahwa ada kesalahan pada institusi sosial dalam ruang lingkup paling kecil yakni keluarga. Ketika ada embel-embel mengajak anak untuk mendapatkan uang, Devie menilai hal itu sebagai bentuk eksploitasi.
“Kata kuncinya bukan dalam bentuk eksploitasi anak untuk kepentingan ekonomi,” tegas Devie kepada JawaPos.com baru-baru ini.