BANDUNG – Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) menanggapi penggunaan aplikasi MyPertamina, guna membeli BBM bersubsidi dan solar mulai 1 Juli 2022. Aplikasi ini mengharuskan pengguna memakai metode pembayaran e-Wallet LinkAja.
Penerapan kebijakan penggunaan aplikasi mypertamina ini dinilai kontroversial, karena ada indikasi pemaksaan dan masyarakat yang belum begitu paham teknologi akan kesulitan dalam pengimplementasiannya.
Ketua Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jabar, Banten dan yang sekaligus menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Edukasi dan Komunikasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia, Firman Turmantara menegaskan, penerapan kebijakan ini jangan sampai melanggar Undang-Undang Konsumen.
“Kami dari BPKN sudah mengkaji kebijakan ini bahwa tujuannya bagus yaitu agar subsidi-subsidi itu tepat sasaran, tapi kemudian di balik itu memang harus juga dipikirkan bagaimana implementasinya. Apakah aplikasi ini tidak kemudian memberatkan?” ujarnya saat dihubungi, Selasa (28/6).
Memberatkan menurutnya adalah, jika sistemnya sulit digunakan. Masyarakat belum memahami teknologi penggunaan aplikasi mypertamina tersebut dan sistemnya sendiri.
“Kadang kadang kita tahu persis aplikasi-aplikasi yang lain itu macet, atau bahkan data-data yang kita sampaikan itu bocor,” bebernya.
Ia mengaitkan pelayanan konsumen dengan insiden bocornya data BPJS baru-baru ini.
“Notabene BPJS kesehatan ini negara kan, pemerintah. Dan ini juga bisa bocor, ini diperjualbelikan di luar negeri. Ini kan ironis,” tuturnya. Sampai sekarang, bebernya, kasus tersebut belum jelas rampung atau tidaknya.
Aplikasi ini memiliki tujuan untuk membuat subsidi tepat sasaran, Firman mengapresiasi tujuan tersebut.
“Untuk aplikasi ini, secara pribadi saya oke lah setuju. Sekarang ini cukup banyak program-program yang tidak tepat sasaran. contoh misalnya gas 3 kilo, itu kan buat orang miskin. Tapi faktanya kita melihat pengusaha-pengusaha besar atau menengah juga menggunakan gas 3 kilo,” bebernya.
Pengawasan sebuah regulasi dalam kebijakan, ungkapnya, harus diawasi sampai bawah, sampai tingkat implementasi. Ia mengatakan pengawasan data di Indonesia masih dikatakan lemah.
“Kejanggalan-kejanggalan dan penyimpangan harus dilakukan penegakam hukum. Ini barangkali yang saya katakan masih lemah,” tuturnya.
“Bahkan penegakan hukumnya bisa jadi tebang pilih untuk kalangan tertentu, nah ini fenomena ini yang terjadi di masyarakat,” sambung Firman.