Wagub Jabar Tegaskan Kasus Oknum Guru HW Bukan Terjadi di Pondok Pesantren, Tetapi di Boarding School

Meskipun sekilas mirip, Ia juga berharap pemangku kepentingan juga memberi pemetaan yang lebih jelas terhadap pesantren, boarding school, atau pola- pola pendidikan agama lainnya. Sehingga tidak terjadi kesimpang siuran ketika ada pemberitaan seperti saat ini.

“Kami berharap masyarakat bisa membedakan mana pondok pesantren mana boarding school. Seklipun ada kesamaan misalnya siswa /siswi tidur disitu, kemudian namanya di pesantren putra- putri dipisah, gurunya juga dipisah antara pengajar laki- laki dan perempuan,” pungkas Dia.

Adapun Boarding School sendiri dapat diartikan sebagai suatu tempat untuk melakukan aktifitas belajar -mengajar seperti sekolah pada umumnya, namun terdapat fasilitas asrama atau tempat tinggal.

Pun Boarding School belum tentu mempelajari kitab- kitab bersannad, meski misalnya didirikan dengan tema- tema keagamaan.

“Selanjutnya mereka yang belajar di pesantren tidak menginginkan ijazah, makanya yang belajar di pesantren ini naik kelas itu oleh dirinya sendiri bukan oleh gurunya ataupun Kiyai,” katanya.

“Kalau pelajaran yang Ia (santri) pelajari saat tahun itu sudah dianggap mampu, maka dia akan naik dengan sendirinya kepada pelajaran yang setelah itu, tingkatan yang diatasnya. Tetapi kalau dirinya dirasa belum mampu sekali ngaji, dua- tiga kali ngaji, nah satu kali kadang- kadang sampai satu tahun,” sambung Dia.

“Jadi mereka itu masuk ke pesantren tidak punya niat untuk jadi pegawai, karena program pesantren itu mutaqin alias orang takwa, imamama mutaqin pemimpin orang bertakwa paling tinggi ulama muamilin, punya pesantren. Jadi berbeda dengan boarding school,” imbuh Pak Uu. (***)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan