JAKARTA – Jual beli jabatan merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi yang sedang marak di kalangan petinggi daerah. Menurut UU No. 31 tahun 1991 dan UU No. 20 tahun 2021, jual beli jabatan dibagi menjadi 3 bentuk kasus berupa gratifikasi, suap dan pemerasan.
Ketua KPK Firli Bahuri juga turut menyoroti kasus jual beli jabatan yang melibatkan Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin yang merupakan Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Nasdem.
“Baru saja kita mengikuti perkara terbaru yang melibatkan bupati Probolinggo. Saya pernah bertanya di dalam media, pengangkatan pejabat sementara kepala desa juga diperjualbelikan dengan harga 20 juta rupiah dan memberikan imbalan hasil sewa pengelolaan tanah bengkong kurang lebih 5 juta per hektar,” terang Firli Bahuri dalam webinar bertajuk ‘Jual Beli Jabatan, Kenapa dan Bagaimana Solusinya?‘
Firli juga menuturkan, jual beli jabatan bisa berdampak pada ketidakoptimalan pelayanan petinggi daerah kepada masyarakat.
“Kalau saja pejabat jabatan sementara kepala desa diperjualbelikan maka kita tidak bisa berharap pelayanan publik bisa optimal diberikan pada masyarakat. Jangankan untuk memberikan pelayanan publik, begitu ingin menduduki jabatan saja para pembantu bupati sudah disibukkan dan menerima beban berupa jual beli jabatan,” jelasnya.
Untuk kasus Jual Beli Jabatan (JBJ) dengan jenis pemerasan, sering terjadi para penyelenggara negara yang memiliki kekuasaan, dan kesempatan, ditambah dengan rendahnya intregeritas, maka terjadi tindak pidana korupsi berupa berupa pemerasan. Seringkali penyelenggara negara atau kepala daerah yang baru saja dilantik akan berpikir siapa saja yang menjadi tim sukses, dan siapa saja yang bukan tim suksesnya. Jika suatu jabatan yang dianggap oleh penyelenggara negara bahwa yang bersangkutan layak atau tidak, maka akan terjadi pemerasan. dengan kalimat, apakah anda masih mau bertahan dengan jabatan tersebut? kalau mau bertahan, maka anda harus bayar sekian, kalau tidak harus diganti.
Berbeda dengan kasus suap yang merupakan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU no. 31 tahun 1999. Dikatakan barangsiapa memberi untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewenangan dan jabatan, maka seserang yang menghendaki/ingin mmpertahankan jabatan, dia akan memberikan berupah hadiah atau janji yang masuk dalam kategori tipikor penyuapan. Tindak pidana suap ini tentunya harus dipenuhi dan dimaknai dengan adanya pertemuan antara penerima dan pemberi, dalam artian konteks pertemuan. Tidak hanya pertemuan fisik tetapi juga pertemuan alam pikiran. Karena tidak akan terjadi suap, apabila tidak bertemunya alam pikiran penerima dan alam pikiran daripada pemberi. Kedua belah pihak juga berhak dimintai pertanggungjawaban.