Membangun Kesadaran Politik Perempuan

Oleh: Lolly Suhenty

Membangun kesadaran kolektif kaum perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam ranah publik khususnya ruang politik memerlukan proses yang panjang. Prosesnya diawali dengan proses transformasi pengetahuan, pemahaman, baru kemudian memunculkan kesadaran. Kesadaran yang telah tumbuh secara individu dikonsolidasi sehingga menjadi kesadaran kolektif.
Kesadaran kolektif ini biasanya muncul dari kegelisahan yang sama, melahirkan keyakinan, gagasan, dan sikap moral bersama yang mendorong kesatuan gerak untuk kesetaraan.

Ketika ada yang melanggar, maka akan timbul reaksi yang sama dari keseluruhan anggota dengan melakukan perlawanan. Misalnya kekerasan seksual dan Kekeasan dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan.

Kuncinya, adanya interaksi. Sebut saja, PKK pada awal pendiriannya adalah Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, kemudian maknanya berkembang menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga. Di era reformasi, PKK bergerak lagi lebih jauh menjadi gerakan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga. Dari proses panjang PKK ini, kita bisa memaknai bahwa kesadaran kolektif lahir dari interaksi yang panjang, dari pendidikan menjadi gerakan.

Setidaknya ada dua hal yang mendorong munculnya kesadaran kolektif, yakni, karenanasib dan gagasan yang sama. Dalam politik, Pemilu harus ramah terhadap perempuan, apakah perempuan sudah merdeka dalam menentukan pilihannya atau masih tergantung pada pilihan suami, atau masih adakah perempuan yang mau berkarier tapi dilarang suami?

Karena pada umumnya perempuan masih mengalami subordinasi maka sudah sepatutnya melahirkan gagasan, kesadaran dan gerakan yang sama untuk menghilangkan hambatan-hambatan. Beberapa diantaranya lewat gagasan affirmative action (tindakan menguatkan). Penguatan ini harus diberlakukan untuk memastikan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki laki.

Afirmative Action

Untuk memotret sejauh mana kesadaran kolektif perempuan dalam politik, penulis mencoba merefleksikan peran perempuan pada Pilkada 2020 di Jawa Barat. Pertama, sebagai pemilih, perempuan mempunyai kesadaran kolektif yang tinggi dan sama untuk mendatangi TPS dan menggunakan hak politiknya. Faktanya, prosentase pengguna hak pilih perempuan sebesar 53,3% melebihi laki-laki. Artinya, perempuan menganggap memilih di TPS itu hal yang penting.

Kedua, pada sisi kandidasi. Perempuan dipandang belum cukup penting menjadi kandidat. Faktanya, dari 50 kandidat, hanya delapan kandidat perempuan (bupati/walikota atau wakil) atau 16 %. Hal ini karena pada regulasinya tidak ada cantolan affirmative action 30%, perempuan dan laki-laki terjun bebas dan bertarung bersama, apapun hambatannya.

Tinggalkan Balasan