CIMAHI – Kota Cimahi merupakan salah satu daerah yang disebut rawan terhadap penurunan tanah atau land subsidence. Khususnya di wilayah selatan. Hal tersebut diketahui berdasarkan hasil Tim Peneliti Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ada sejumlah wilayah yang mengalami penurunan tanah paling parah di Kota Cimahi, yakni di wilayah selatan Leuwigajah, Utama, dan Melong. Penurunan tanah di wilayah tersebut mencapai 20 centimeter per tahunnya.
“Daerah di selatan Cimahi paling parah, yang berdiri di atas tanah sedimen yang lebih lunak. Di situ sampai hari ini masih ada penurunan tanahnya,” terang Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Heri Andreas saat dihubungi, Jumat (6/8).
Dirinya mengungkapkan, ada sejumlah penyebab terjadinya land subsidence di wilayah tersebut. Di antaranya karena eksploitasi air tanah oleh industri dan kondisi alamiah daerahnya. Kedua faktor tersebut sama-sama berperan besar membuat penurunan tanah di Kota Cimahi.
“Faktor mana yang berkontribusi terbesar? Kompaksi alamiah dari hasil risetnya itu sebanyak 1-2 cm pertahun. Sekarang sisanya itu dari air tanah. Artinya lebih dominan yang persentase terbesar,” kata Heri.
Dirinya menyoroti dampak kekeringan akibat eksploitasi air tanah yang terjadi. “Penting dicatat, dampaknya itu krisis air tanah. Ketika kita enggak sadar eksploitasi terus, tiba-tiba habis air tanahnya, potensinya kekeringan bisa terjadi di 2050. Itu yang mesti lebih dikhawatirkan ketimbang dampak langsung dari subsidencenya,” ungkap Heri.
Heri melanjutkan, dampak dari land subsidence di Kota Cimahi memang tak sama seperti di Jakarta maupun daerah lain di Jawa Tengah yang dikelilingi laut, yang bisa saja meneggelamkan. Sebab Cimahi masuk dataran tinggi, bisa saja potensi yang muncul adalah seperti retak-retak, meskipun dari subsidence memang kecil.
“Lalu bisa membentuk cekungan banjir, itu pun kalau posisi daerahnya dekat sungai besar. Beruntung di Cimahi Gradien topografinya masih curam, jadi air tidak menggenang meskipun ada cekungan subsidence atau kita sebut con subsindence,” jelas Heri.
Heri mengatakan pemerintah daerah sebetulnya sudah paham mengenai isu tersebut mengingat sejak tahun 90-an sudah banyak laporan serta publikasinya. Harapannya pemerintah bisa bergerak cepat melakukan diagnosa dan treatment terhadap permasalahan tersebut.