Niat Puasa Ramadan Ternyata Tak Perlu Diucapkan, Cukup dalam Hati

NIAT yang dilafadzkan saat Puasa Ramadan tidak termasuk syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wasalam. Bahkan itu merupakan sesuatu yang diada-adakan, dan masuk dalam kategori bid’ah.

Umumnya, kita mengenal niat Puasa Ramadan berbunyi: nawaitu saumagadin…. dan seterusnya…

Namun, niat itu tidak terdapat dalam riwayat-riwayat sahih. Tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat.

Memang ada Hadis yang menyebut, bahwa amal tergantung niat.

“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” (HR. Bukhari)

Kemudian juga hadis lain tentang wajibnya niat puasa Ramadan.

“Siapa yang tidak membulatkan niat mengerjakan puasa sebelum waktu fajar, maka ia tidak berpuasa.” (HR. Abu Daud, al-Tirmidz, dan al-Nasa’i).

Namun, niat bukan berarti harus dilafadzkan. Niat letaknya di dalam hati.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau Zadul Ma’ad, I/201,

”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits saja dari Rasul dan para sahabat tentang perkara ini (mengucapkan niat), tentu kami akan menerimanya. Kami akan menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang patut diikuti kecuali petunjuk yang disampaikan oleh pemilik syari’at yaitu Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam.”

Dari pernyataan Ibnul Qayyim rahimahullah tersebut, jelas bahwa Rasulullah tidak pernah membaca, atau melafadzkan niat saat Salat atau Puasa Ramadan.

”Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim).

Awal mula niat dilafazkan dalam ibadah: Salat maupun Puasa Ramadan atau Ibadah lainnya, berawal dari salah pemahan pernyataan Imam Syafiih.

Imam As-Syafi’i pernah menjelaskan:

الصَّلَاةِ لَا تَصِحُّ إلَّا بِالنُّطْقِ

“….shalat itu tidak sah kecuali dengan an-nuthq.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3:277)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan